JIKA ada yang menyebutkan nama Danarto, maka cerpen pertama yang terlintas biasanya adalah Godlob. Ya, nggak?
Danarto memang terkenal dengan cerpen-cerpennya yang beraroma sufistik atau makrifatik. Salah satu menengarainya tentu dengan membaca kumpulan-kumpulan cerpennya.
Sebenarnya merupakan tantangan bagi kami, tim Jaringpro Ject—saat belum ada nama itu, kami yang dimaksud adalah Jamaluddin Latif – Desi Puspitasari – Utroq Trieha—, saat memilih cerpen mana yang hendak diadaptasi menjadi pertunjukan monolog. Godlob yang sudah banyak dikenal orang tentu akan memancing rasa penasaran yang begitu besar. Namun juga bukan berarti memiliki hambatan yang besar pula.
Kenapa begitu?
Saat membaca cerpen Godlob si pembaca tentu sudah memiliki semacam ‘theather of mind’ di dalam kepalanya. Bayangan atau imajinasi mengenai warna dan gambar dan bagaimana segala sesuatunya bergerak sudah terancang baik di kepala. Ketika menonton pertunjukan monolog Godlob, kalau penampilan monolognya lebih baik dari yang pernah dibayangkan, tentu puji-pujian akan meluncur keluar. Tapi, kalau tidak memuaskan? Bukan tidak berarti rasa kecewa menonton pertunjukan akan disematkan pada si penampil.
Pertimbangan-pertimbangan itu menarik, sih. Dan, perhitungan mengenai kekecewaan penonton sebaiknya tidak dijadikan beban tapi sebagai pemacu untuk memberikan penampilan yang terbaik. Tapi sayangnya, cerpen tersebut sudah tidak available. 😀
Kami bertiga memilih lagi cerpen Danarto yang hendak diadaptasi. Dari kumpulan cerpen Adam Makrifat, ada dua cerpen yang menarik minat Jamaluddin Latif; ”Mereka Toh Tak Mungkin Menjaring Malaikat“ dan ”Bedoyo Membelot“. Kedua cerpen tersebut memiliki tantangan tersendiri yang menarik untuk dieksplor. Baik dieksplor secara keaktoran pun proses pengadaptasian cerpen menjadi naskah panggung.
Menurut Desi Puspitasari, cerpen ”Bedoyo Membelot“ sekiranya yang dipilih. Namun, Utroq Trieha memilih ”Mereka Toh Tak Mungkin Menjaring Malaikat“.
Alasannya; Iya, dengan kemampuan keaktoran Jamaluddin Latif yang mumpuni, berperan sebagai guru tari dalam ”Bedoyo Membelot“ tentu bisa dengan mudah dilakukan oleh seorang Jamal. Namun tantangan justru akan semakin menarik ketika Jamal ’diminta‘ untuk memerankan malaikat. Begitu alasan Utroq Trieha.
Benar juga, sih.
Hingga kemudian ada sebuah tawaran dari satu pihak yang masuk melalui Jamaluddin Latif. Ia dan Desi Puspitasari kemudian berdiskusi sejenak untuk menimbang-nimbang cerpen mana yang memiliki kemungkinan besar untuk disesuaikan dengan tawaran dari KPK.
Atas alasan Utroq Trieha dan hasil diskusi Jamaluddin Latif dan Desi Puspitsari kahirnya cerpen ”Mereka Toh Tak Mungkin Menjaring Malaikat“ dipilih untuk diadaptasi.
Jamaluddin Latif ingin hasil naskah monolog tidak hanya sekadar mengadaptasi dari cerpen Danarto. ”Jadikanlah pertunjukan ini memiliki ’isi‘.“
Desi Puspitasari pun mengusulkan judul diganti menjadi ”Menjaring Malaikat“. Alasannya; judul asli Danarto sudah spoiler banget, hehe. Dan dengan menggunakan judul ”Menjaring Malaikat“ diharapkan lebih memancing rasa penasaran penonton.
Penasaran, nggak?
Penasaran pastinya, kaaaaan…. 😉 [uth|dps]