Awal Tim Jaring Project | Desi Puspitasari sebagai penulis naskah yang harus mengawali sumber idenya dari cerpen Danarto ”Mereka Toh Tak Mungkin Menjaring Malaikat” memandangnya lebih pada kisah yang bisa disederhanakan. Kalau dibikin premisnya akan berkata seperti ini: “Seorang tukang kebun yang berusaha menangkap malaikat yang usil.”
Dikatakan usil karena Sang Jibril sengaja memecahkan genteng dan membikin tukang kebun kebingungan. Setelah si tukang kebun bersusah payah membikin jaring, lantas malaikat Jibril sengaja memerangkapkan diri di sana. Namun, setelah beberapa saa, justru Jibril malah pergi begitu saja. Meninggalkan anak-anak Sekolah Dasar yang menangis, pun tukang kebun yang bengong kebingungan.
Atas inisiatif Jamal yang menghendaki pertunjukan ini digarap oleh tim, maka pada tanggal 18 Juni bulan Juni 2016, kami; beberapa orang yang kelak menamakan diri sebagai tim Jaring Project berkumpul lengkap untuk pertama kalinya, dan kemudian berdiskusi. Sebenarnya cerita ”Mereka Toh Tak mungkin Menjaring Malaikat“-nya Danarto tentang apa, sih? Lalu, akan seberapa jauh kami harus mengadaptasi temuan itu dan menerapkannya pada naskah monolog?
Kami, beberapa orang itu adalah Jamaluddin Latif, Ibed Surgana Yuga, Desi puspitasari, Ari Wulu, Roby Setiawan, Adib Fajariyanto, Andy Setyanta, Utroq Trieha, Jundan Aries, dan Sugeng Utomo.
Diskusi yang seru tersebut salah satunya menghasilkan temuan bahwa sebenarnya Malaikat Jibril tersebut memanglah malaikat pengangguran. Pasalnya, tugas malaikat Jibril adalah menyampaikan wahyu, padahal bukankah (menurut beberapa keyakinan) penerima wahyu itu adalah nabi? Nah, masih pada catatan keyakinan itu, bukakah sekarang nabi terakhir juga telah ditetapkan? Artinya benar memang malaikat pengangguran, kan? Maka, apabila ada yang mengaku-ngaku sebagai nabi baru bisa dipastikan orang tersebut sedang berbohong.
Kemudian apabila sudah tidak ada nabi lagi untuk diberi wahyu, Jibril yang pengangguran itu harus tetap jaim alias jaga image. Karenanya akan bisa tetap tampak ciamik dan tidak dianggap makan gaji buta, sekiranya Jibril dalam monolog ”Menjaring Malaikat“ ini dicarikan cara agar terus terlihat aktif dan eksistensinya juga muncul.
Begitupun dengan kisah para penghuni sekolahan yang salah satu kelasnya dijahili malaikat Jibril, dengan membuat atap bocor. Ada pak guru, murid-murid, dan juga tukang kebun. Hubungan antara keempat sosok itulah yang dipadupadankan sebagaimana gambaran mentah yang disodorkan oleh Desi Puspitasari sebagai penulis naskah.
Setelah pertemuan beberapa kali, termasuk di Kandang Jaran-nya Bapak Bambang Paningron, kami melakukan latihan demi latihan di berbagai tempat, di Kandang Jaran, di Komunitas Gayam 16, dan juga di Sarang Building-nya Uda Jumaldi Alfi Caniago. Dalam perjalanan berlatih itu, selain brain storming, naskah juga selalu kami sesuaikan agar bisa padu-padan. Musik dan artistik juga tak kalah menariknya kami bahas.
Pada akhirnya, kami bekerja dengan sangat hati-hati dan teliti dalam menyampaikan beberapa adegan, menghadirkan motif mimpi sebagai bagian dari realis sekaligus surealis –realisme magis, menggambarkan Danarto sebagai sang maestro cerita, dan tentu saja bagaimana memvisualkan pengejawantahan Malaikat. [uth]