Ide Pertama Menjaring Malaikat | Awalnya adalah ketika Jamaluddin Latif menyampaikan pesan melalui pesawat telepon, yaitu ihwal keinginannya untuk menggarap satu lakon panggung yang dipentaskan berdasar naskah hasil karya Desi Puspitasari. Maka, pada akhir bulan maret 2016 terjadi pertemuan awal dan kemudian dilanjutkan dengan pembicaraan antara Jamaluddin Latif, Desi Puspitasari, dan Utroq Trihe. Perjumpaan yang terjadi di sebuah Caffee Shop itu langsung membahas mengenai kemungkinan-kemungkinan mengolah salah satu cerpen karya Danarto untuk dipentaskan di atas panggung
Dan ketika membahas sebuah karya yang hendak diinterpretasikan ke bentuk lain, maka hal paling awal yang butuh diketahui adalah sang pembuat karya itu sendiri. Karena dalam hal ini yang hendak dikerjakan adalah cerpen karya danarto, maka pertanyaannya adalah; Siapa Danarto? Apa saja karya Danarto? Bagaimana karakter dari karya-karya Danarto itu? Dan masih banyak indikator lain lagi yang harus dibedah pada awal pertemuan.
Perihal karya, khususnya karya sastra, diskusi disempitkan pada beberapa tulisan Danarto yang termaktub dalam dua buku kumpulan cerpenn tersohornya; Godlob dan Adam Makrifat.
Bergerak dari satu cerpen ke cerpen lain, kami mulai memetakan hubungan yang terkait di dalamnya. Desi Puspitasari langsung menyodorkan pilihannya pada cerpen Godlob, alasannya selain memang sudah identik dengan Danarto, dari segi penceritaan, kisah pada cerpen Godlob sudah begitu visual – sehingga memudahkannya untuk mengadaptasi ke dalam naskah monolog dan juga memudahkan tim artistik untuk membikin properti panggung yang mendukung. Bukan tanpa alasan, Desi memaparkan kalimat itu, karena baik Jamal maupun Utroq sedari awal juga menginginkan agar pertunjukan monolog ini tak sekadar mementaskan cerpen Danarto, namun ada nilai pun tema lain yang musti dimasukkan. Artinya, naskah dan pertunjukan monolog ini tak hanya memindah-mediumkan ataupun mengalih-wahanakan, namun juga membikin sebuah karya baru.
Tentu tak akan fair ketika cerpen yang disodorkan Desi itu langsung disetujui, padahal Jamal dan Utroq belum sepenuhnya memberikan pendapat, lantaran memang belum pernah membaca keseluruhan isi cerpen dalam kedua buku tersebut. Alhasil pada perjumpaan pertama itu tetap belum ditemukan titik kerucut. Konsekuensinya, kami bertiga; Jamaluddin Latif, Desi Puspitasari, dan Utroq Trieha, sama-sama masih harus membaca kembali semua isi dalam dua buku kumpulan cerpen tersebut, yang kelak, di pertemuan berikutnya akan kita presentasikan argumentasi masing-masing dalam meja yang sama, lantas kita sepakati pilihannya.
Sebelum pertemuan itu berakhir, Jamal mengutarakan bahwa ia juga hendak meminta bantuan teman untuk menyutradarai, menata cahaya, menata musik, menata artistik, menata panggung, dan tentu saja yang mampu meng-handle produksi. Bahkan ada pula keinginan untuk menghadirkan Lani-Frau pada pementasan nantinya.
***
Minggu pertama bulan April 2016, kami bertiga membikin janji bersua kembali dengan mengambil tempat di Taman Kuliner Yogyakarta. Dan ditemani basah air hujan hingga larut malam, kami membahas pilihan cerpen yang dikehendaki.
Opsi awal yang muncul ada empat dengan berbagai macam pertimbangan, yaitu dua cerpen dari buku kumpulan cerita Godlob dan dua cerpen dari buku kumcer Adam Makrifat. Cerpen Godlob cukup bagus kita olah, Kecubung Pengasihan tak kalah menariknya untuk dieksplorasi, Mereka toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat sepertinya apik juga untuk digarap, dan Bedoyo Robot Membelot menjadi pilihan yang tak bisa juga diabaikan. Semua karya itu kami ulang-alik dalam menentukan pilihan akhir.
Akhirnya pada malam hari itu kami mempersempit pilihan menjadi dua cerpen, yaitu Bedoyo Robot Membelot dan Mereka Toh Tak Mungkin Menjaring Malaikat, dua-duanya adalah cerpen yang ada di buku kumpulan cerpen Adam Ma’rifat. Alasan kami memilih dua cerpen tersebut adalah memiliki kemungkinan besar untuk diadaptasi dengan tantangan-tantangan penggarapan yang ada.
Bedoyo Robot Membelot bercerita mengenai sebuah guru tari tradisional dengan segala keriuhannya. Pada satu kesempatan para penari mampu membuat orang-orang yang sedang pesta terbengong-bengong karena ditinggal terbang ke langit. Sayangnya tak lama kemudian orang-orang itu melupakan peristiwa yang baru saja terjadi dan kemudian kembali bersenang-senang. Sedangkan Mereka Toh Tak Mungkin Menjaring Malaikat berkisah tentang sosok malaikat Jibril yang berinteraksi dengan murid-murid di sebuah Sekolah Dasar, yang pada bagian awal, Jibril menceritakan pekerjaannya sebagai penyampai wahyu. Hingga kemudian dia membikin genteng jebol dan terjadilah interaksi dengan para manusia.
Di antara dua cerpen tersebut, Jamaluddin Latif lebih condong memilih “Bedoyo Robot Membelot,” alasannya karena dari segi cerita dan untuk keaktoran ia merasa lebih tertantang. Yakni, berperan sebagai seorang perempuan. Pun dengan Desi Puspitasari, ia sepakat dengan pilihan Bedoyo Robot Membelot dengan alasan serupa, apalagi Desi melihat kemampuan Jamal yang sangat elok apabila berperan sebagai penari perempuan.
Sementara itu, meski jika dilihat dari segi cerita, kedua cerpen itu sama-sama menantang untuk digarap dan dibawakan Jamal, namun Utroq Trieha memiliki pendapat berbeda. Berangkat dari alasan Desi yang yakin akan kemampuan-keaktoran Jamal yang akan luwes berperan sebagai perempuan penari pun guru tari, pertanyaannya ”diganti” menjadi; kalau sudah yakin dengan kemampuan Jamal yang mumpuni berperan sebagai lawan jenis, mengapa tidak menantang kemampuan Jamal untuk memerankan tokoh yang lebih sulit? Tokoh yang lebih sulit seperti apa?
Benar, jika berperan sebagai perempuan dan seorang guru tari, Jamaluddin Latif sudah tak bisa diragukan lagi kemampuannya, maka menurut Utroq, akan lebih menarik jika tantangan kesulitannya ditingkatkan sekalian; Jamal bermain sebagai malaikat yang berangkat dari pilihan cerpen Mereka Toh Tak Mungkin Menjaring Malaikat. Artinya, ketika peran sebagai manusia itu menjadi hal mudah, tantangan yang ada dalam cerpen ini adalah bagaimana Jamal sebagai aktor mampu mewujudkan sosok malaikat itu di atas panggung. Pun bagi penulis naskah, Desi Puspitasari yang mengadaptasi naskah mampu memahami karakter malaikat dalam cerpen Danarto, yang kemudian bisa mewujudkan ulang ke dalam naskah monolog.
Berdasar argumentasi ini, maka jika urusannya adalah meningkatkan performa tentu aktor dan penulis naskah lebih memilih cerpen yang memiliki tingkat kesulitan tinggi. Karena semakin menantang, semakin terbuka banyak sekali kemungkinan proses adaptasi naskah dan pemanggungannya. Apalagi naskah cerpen “Mereka Toh Tak Mungkin Menjaring Malaikat” masih sangat terbuka banyak kemungkinan dalam penggarapannya. Termasuk menyisipkan berbagai isu dan pesan kepada penonton, tentunya.
Penyisipan isu dan pesan itu pulalah hal lain yang juga dikehendaki bersama, apalagi isu itu bisa jadi sangat kekinian, sebagai contoh adalah kasus-kasus korupsi yang terjadi di negeri ini, yang seolah tiada habisnya. Patah tumbuh hilang berganti. Terdapat berbagai hal terkait dengan korupsi yang bisa dimasukkan sebagai pengembangan cerita. Bukan saja korupsi yang dilakoni oleh para pejabat, namun juga korupsi sehari-hari yang dilakukan oleh rakyat jelata. Bolos sekolah, mangkir kuliah, kebiasaan pulang kerja sebelum jam kantor, dan masih banyak lagi, tak banyak yang sadar jika itu semua adalah juga masuk dalam ranah tindakan korupsi. Ialah korupsi waktu. 😁
Ya, korupsi sejatinya tak sebatas tentang nyolong duit dalam jumlah besar dan dilakukan oleh pejabat. Korupsi bisa dan sangat mungkin terjadi di mana saja, baik dalam skala besar maupun kecil, dan dilakukan oleh siapa saja, entah pejabat, ningrat, pun jelata. [uth]