[Proses 3] Jaring Project Menjaring Malaikat

Jaring Project Menjaring Malaikat | CERPEN ”Mereka Toh Tak Mungkin Menjaring Malaikat” dari Danarto sebenarnya berkisah tentang hal yang sederhana. Kalau dibikin premisnya akan berkata seperti ini: “Seorang tukang kebun yang berusaha menangkap malaikat usil.”

Bagaimana enggak usil?  Lhawong si malaikat Jibril ini sengaja memecahkan genteng dan membikin si tukang kebun kebingungan lho. Bahkan setelah tukang kebun bersusah payah membikin jaring, malaikat Jibril sengaja memerangkapkan diri di sana. Namun setelah beberapa saat, malaikat Jibril malah pergi begitu saja, meninggalkan anak-anak SD yang menangis dan si tukang kebun yang bengong kebingungan.

Jaring Project Menjaring MalaikatTanggal 18 Juni Juni 2016, kami bersama-sama berkumpul kembali, yaitu dengan meminjam tempat di kediaman Bapak Bambang Paningron, Kandang Jaran. Di area ringroad utara ini kami kembali berdiskusi, yaitu diawali oleh Desi Puspitasari –yang saat itu juga telah membagikan naskah asli dari www.klipingsastra.com pun naskah adaptasi kasar pada semua personel. Sebenarnya cerita ”Mereka Toh Tak mungkin Menjaring Malaikat“-nya Danarto itu tentang apa, sih? Lalu, akan seberapa jauh diadaptasi dan diterapkan pada naskah monolog…?

Sebagai penulis naskah, Desi mulai memaparkan naskah awal yang disusunnya dan langsung mengambil judul ”Menjaring Malaikat.“ Ia memaparkan bahwa minilam ada 3 sudut “penokohan,” yaitu tukang kebun, murid-murid SD, dan tentu saja sang Malaikat (Jibril). Semua khusyu’ mendengarkan sambil sesekali juga membaca naskah aslinya Danarto, dan juga naskah adaptasi Desi Puspitasari. Setelah selesai dengan pemaparan dari Desi Puspitasari, brainstorming seolah sudah dimulai tanpa komando. Misalnya dengan kemunculan argumentasi bahwa sejatinya Malaikat Jibril itu ya malaikat pengangguran.

Lho, kok bisa pengangguran? Bisa saja. Karena jika ditelisik dari penjelasan beberapa agama, ingat beberapa agama, bukan cuma satu agama lho… ternyata tugas malaikat Jibril menyampaikan wahyu kan sudah selesai seiring tak lagi ada nabi sebagai penerimanya? Bahwasanya nabi terakhir sudah ditetapkan. Artinya, bila ada yang mengaku-ngaku sebagai nabi baru, bisa dipastikan orang itu pasti sedang berbohong. Jadi, kalau sudah tidak ada nabi lagi untuk diberi wahyu, si Jibril ngapain? Nganggur, kan? 😀

Nah, ketimbang nganggur. Biar tetap tampak ciamik dan tidak dianggap makan gaji buta, maka posisi Jibril dalam monolog ”Menjaring Malaikat“ harus menemukan cara agar nampak aktif.

Di akhir pertemuan, kami pun mencari ide nama tim. Apa yang kira-kira pas kami ambil sebagai nama tim, dan kemudian kami membuatkan wadah di berbagai sosial media, weblog pun website, yang pada tempat itu kelak akan dikumpulkan dokumentasi kami dalam berkarya, juga catatan-catatan proses yang bisa bermanfaat bagi orang banyak. Pada akhirnya, Jaring Project adalah nama yang kami sepakati.

***

SETELAH beberapa kali melakukan diskusi dan brainsorming, baik dilakukan secara on line (by phone) ataupun berkumpul tatap muka, maka latihan bersama sepakat untuk dimulai pada tanggal 20 Juni 2016.

Dengan meminjam lokasi di Joglo Museun Wayang Ukur, Jalan Taman Siswa, pada latihan pertama kami kembali membahas ulang naskah yang sudah direvisi dengan memasukkan berbagai ide pada saat diskusi beberapa waktu lalu di kedai Kandang Jaran.   Yang sebelumnya hanya memiliki tiga sudut pandnag, pada naskah “Menjaring Malaikat” kali ini Desi Puspitasari memiliki empat sudut pandang, yaitu Malaikat, Tukang Kebun, anak-anak, dan juga Pak Guru.

Diawali dengan text reading oleh Jamaluddin Latif, intonasi tegas dengan nada keras dilafalkan, tujuannya adalah supaya isi naskah tersebut bisa lebih ada rasanya (ketimbang dibaca dalam hati0, juga agar Ibed Surgana Yuga selaku sutradara bisa langsung membayangkan ihwal pengadegan nantinya. Seperti bagaimana teknis genteng yang jatuh, bagaimana saat malaikat terperangkap masuk dan nyangkut pada jaring. Apa jadinya jika porsi pak Guru ditambah, bagaimana mewujudkan nyanyian yang bersahut-sahutan antara malaikat dengan anak-anak, juga pemilihan dan pemilahan bagian mana dari naskah yang bisa diucapkan dan mana yang sebaiknya diperistiwakan,dan masih banyak lagi.

Pada reading awal ini tak lupa menghitung berapa menit waktu yang diperlukan? Jawabannya adalah 40-45 menit. Ibed berpendapat bahwa durasi waktu tersebut sudah lumayan– tak terlalu cepat dan tak terlalu lama. Hanya saja, ketika nanti ke depannya harus memasukkan unsur musik, lampu, juga properti, maka butuh pula untuk dipikirkan penambahan waktu dalam pertunjukan kelak. [uth]