Edukasi Publik: Kenapa Harus Fest!sip Festival Arsip Kuasa Ingatan

Kenapa Harus Fest!sip Festival Arsip?

BAGAIMANA menampilkan atau membicarakan hal berkaitan dengan arsip dan kearsipan dalam karya seni pada sebuah pameran senirupa? Bagaimana pula menampilkan arsip secara ‘nyeni’ namun pada saat bersamaan arsipnya masih bisa terbaca sebagai bentuk dan pengetahuan?

Sejumlah pertanyaan di atas tentu saja menghantui setiap inisiatif atau penyelenggara pameran arsip. Pun yang terjadi dalam pameran FEST!Sip kali ini, Tim Artistik Pameran Festival Arsip mengalami persoalan serupa.

Karenanya pihak timFEST!Sip tak hendak terjebak pada bentuk-bentuk presentasi kaku, yang menampilkan arsip dalam rak-rak seperti pameran pembangunan. Hanya saja, pada saat bersamaan mereka juga tidak ingin menjadi terlalu ‘subyektif’, menyerahkan proses pewacanaan sepenuhnya pada imajinasi dan hanya bertumpu pada keindahan yang terisolasi dari konteks dan praktiknya.

Untuk pameran ini, tim artistik mendekatinya dengan cara menstrukturkan wacana yang diusung secara tematik dengan praktik-praktik yang dilakukan oleh pelaku seni di Indonesia, baik oleh seniman, kurator, manajer seni, galeri dan institusi-institusi seni lainnya. Tema dari Festival Arsip ini adalah ‘Kuasa Ingatan’ yang sedikit banyak bermaksud, memaparkan kepada publik untuk secara lebih kritis melihat ‘ingatan’ sebagai sebuah hasil dari kontestasi kuasa-kuasa melalui berbagai aparatus yang dibangun, serta bagaimana reperkusinya dalam sejarah dan praktik kesenian di Indonesia. Hal ini kita lihat sebagai sebuah diskursus yang coba dibangun oleh IVAA dengan Festival Arsip.

Diskursus di atas, untuk bisa dibaca dengan baik, memerlukan perspektif atau sudut pandang yang diwujudkan dalam 3 sub platform yaitu: “Estetika dan Retorika”, kemudian “Seni di antara Negara dan Masyarakat”, serta “Seni, Pasar dan Kekerabatan”.

Ketiga sub platform ini meneliti praktik-praktik kesenian berdasarkan pada dinamika dan persentuhan antara seni dengan berbagai aspek dalam struktur sosial masyarakat, seperti hubungan antar individu, infrastruktur dan superstruktur kesenian, juga persentuhan antara kesenian dengan teknologi dan ilmu pengetahuan lain.

Persoalan ketika memunculkan ‘praktik’ di dalam karya seni atau pameran seni adalah, kecenderungan menjadi ‘meta seni’, yakni seni tentang seni. Persoalan ini paling sulit dihindari, terutama karena peliknya menemukan bentuk presentasi, tentang proses yang tidak membicarakan melulu soal proses itu sendiri. Sebuah proses bisa dibicarakan dengan baik dan tidak pretensius jika simpul utama dari sudut pandangnya adalah audiens, sebuah proses yang mengakomodasi kemungkinan pembacaan penonton, yang memberikan kesempatan penonton untuk mendayagunakan display dan interaksi yang muncul di sana. Bentuk dan isi sudah seharusnya menjadi sebuah ikhtiar pengetahuan yang memiliki dimensi estetika yang bisa berdiri sendiri.

Kita melihat bagaimana ada semacam proses ‘gentrifikasi seni’ di mana kegiatan dan wacana kesenian meledak ke dalam, lebih memilih membicarakan diri dengan embel-embel kontekstualisasi berbasis masyarakat. Sementara kenyataannya adalah ketakutan untuk memilih dan berpihak pada persoalan-persoalan besar di masyarakat. Gentrifikasi terjadi ketika, internasionalisasi menjadikan seni-seni yang tidak sepaham menjadi pinggiran, dilokalkan dan dicap sebagai eksotis, modernis atau bahkan dalam istilah jawa sebagai ‘ra dong’ (tidak paham).

Untuk itu, pameran dalam Festival Arsip ini menampilkan praktik ke dalam bentuk-bentuk performatif yang secara langsung atau tidak, mengajak audiens merasakan dan mengalami berbagai praktik itu secara kedirian, dengan darah daging dan otak kita masing-masing. Display dan interaktifitas dalam pameran ini memiliki sebuah tujuan, yakni dengan menghadapkan langsung audiens kepada berbagai hal yang ingin kita usung dalam tema kuratorial pameran.

Salah satu cara yang paling mujarab membongkar mitos dan ketakutan adalah dengan menghadapinya, begitu juga dengan mitos-mitos tentang seni dan phobia-phobia tentang wacana kesenian. Tafsir atas seni adalah perkara yang rumit, namun ketika kuasa atas tafsir itu sudah didistribusikan ke dalam pikiran tiap-tiap orang dan sejarahnya, sepertinya persoalan yang tersisa tinggal bagaimana produksi dan reproduksi atas pengetahuan itu dipelihara keberadaannya, dijauhkan dari tirani-tirani modal, ideologi, kharisma dan kelas sosial.

Harapannya, pengunjung bisa mendekati pameran seni sebagai fungsi pengetahuan, dengan mencoba memahami karya-karya yang ada atau menikmati seni sebagai produk serta peristiwa yang menarik secara estetika.

Keterangan:
Sebagaimana dikutip dari Tim Artistik Pameran Fest!sip