SEMINAR Kuasa Ingatan menjadi rangkaian dari Festival Arsip IVAA yang bertajuk “Kuasa Ingatan”. Ada kepentingan untuk membicarakan kembali topik tentang arsip sebagai penjaga ingatan, di samping isu-isu termutakhir mengenai pengarsipan seni dan budaya di Indonesia tentunya. Bekerja sama dengan Program S3 Kajian Budaya (Kajian Seni dan Masyarakat) Universitas Sanata Dharma, seminar ini akan mengelaborasi tiga isu besar, yaitu 1) pengarsipan seni budaya di Indonesia, 2) wacana maupun praktik seni dan politik di Indonesia (yang mencakup seni di ruang publik, seni berbasis komunitas, serta seni & masyarakat), 3) digital humanities (dalam persinggungannya dengan seni digital dan pengarsipan secara digital).
Arsip sebagai artefak pengetahuan perlu dibicarakan agar kita bisa merefleksikan kembali praktik maupun wacana yang pernah mengemuka dalam medan seni rupa Indonesia. Pada Festival Arsip kali ini, IVAA membuka arsip-arsip sejak zama kolonial hingga masa reformasi dan pasca-reformasi. Arsip-arsip yang meliputi dokumentasi kegiatan, liputan media, ulasan-ulasan dan katalog pameran, baik itu peristiwa seni yang diselenggarakan oleh seniman dan ruang-ruang seni, pemerintah, maupun masyarakat. Bersamaan dengan pameran ini juga akan diselenggarakan seminar, yang menjadi ruang ilmiah dalam mengelola berbagai pengetahuan yang berkembang mengiringi perjalanan IVAA sebagai lembaga pengarsipan seni visual.
Seminar ini akan diselenggarakan selama tiga hari dengan format seminar akademis, yang mana dalam sehari akan ada dua sesi diskusi. Berikut deskripsi masing-masing topik dalam seminar “Kuasa Ingatan”
:
Waktu |
Sesi |
Pengisi |
Moderator |
Hari 1: Senin, 25 September 2017 |
|||
Praktik pengarsipan Seni Budaya |
1.Pengarsipan sebagai Penjaga Ingatan 09:00-12:00 |
1.Muhidin M.Dahlan 2.Didin Dwi Nugroho |
Pitra |
2.Membaca Arsip, Menuliskan Sejarah
13:00-15:00 |
1. Bonnie Triyana 2.Nadia Fauziah Dwiandary |
Yoshi Fajar |
|
Hari 2: Selasa, 26 September 2017 |
|||
Digital Humanities |
1.Seni dalam Media Digital: Estetika, Kurasi, dan Konservasi Seni Digital | 1.Ho Tzu Nyen |
Kurniawan Adi |
2.Memahami Masyarakat Digital |
1.Lalitia Apsari 2.Yesaya Sandang |
Syafiatudina |
|
Hari 3: Rabu, 27 September 2017 |
|||
Membaca Ulang Gagasan tentang Estetika dan Politik | 1.Politik yang Estetis, Estetika yang Politis |
David Pavon |
Prof. Augustinus Supratiknya |
2.Seni dan Aktivisme di Indonesia pasca 1998 |
1.Agung Hujatnika 2.Aaron Seeto (Aus) |
Lisistrata Lusandiana |
Kerangka Acuan Seminar Hari 1: Praktik Pengarsipan Seni Budaya
-
SESI I: Pengarsipan sebagai Penjaga Ingatan
Pemanfaatan arsip sebagai bahan penelitian sejarah hampir selalu dibicarakan sebagai aspek-aspek teknis pengelolaan. Hari ini operasional perpustakaan dan arsip nyaris tidak kentara, apalagi setelah benda-benda tersebut berwujud elektronik-digital dan katalognya tersedia dalam jaringan (Intranet dan Internet).
Mesin pencari komersial dan repositori berkas digital partisipatif seperti Google dan archive.org mengizinkan warga dunia saiber melintasi lorong waktu. Tanpa perlu menekuni sejarah seni rupa, operasi pencarian sederhana bisa menggiring pengguna Internet menemukan hasil pindaian kuitansi pembayaran lukisan bertandatangan Ir. Soekarno, hingga foto lukisan maestro yang belum pernah sekalipun dipamerkan di gedung-gedung kesenian daerah namun telah berulangkali dilelang.
Arsip tak lebih dari sekadar obyek lawas dan langka di tengah masyarakat yang dibuat senantiasa lupa melalui pemiskinan, pembodohan, distorsi, penghapusan, hingga genosida. Melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), arsip instansi pemerintah adalah komponen utama dalam aspek tata kelola dan reformasi birokrasi. Sedangkan Rencana Strategis ANRI 2015-2019 yang diturunkan dari RPJMN, untuk pertama kalinya merumuskan program untuk memperjelas peran ANRI dalam penyelenggaraan kearsipan nasional. Sesuai rumusan program Penyelenggaraan Kearsipan Nasional, peran arsip secara nasional untuk masyarakat adalah tersedianya “Informasi Kearsipan Nasional” yang diolah dari Jaringan Informasi Kearsipan Nasional (JIKN) dalam suatu Sistem Informasi Kearsipan Nasional (SIKN).
Karena itulah, ketika pemerintah memandang arsip instansi pemerintah perlu diatur penyelenggaraannya untuk mendukung reformasi birokrasi, nilai arsip di tengah masyarakat terbatas pada dokumentasi kinerja pemerintah. Di sisi lain, masyarakat yang perilakunya ahistoris selalu mudah digiring opininya pada skandal dan gosip, tanpa membutuhkan bukti terlebih setelah bukti tersebut menjadi arsip.
Seminar di dua sesi tentang arsip mengharapkan paparan sebagai berikut:
- Sumber-sumber arsip apa saja yang pernah dijelajahi inisiatif non instansi pemerintah.
- Metode mengelola inisiatif arsip: katalog, retensi, pertukaran arsip.
- Metodologi penelitian sejarah berbasis arsip: kendala dan siasat untuk konteks Indonesia.
- Metode menghidupkan semangat mengarsipkan, khususnya untuk arsip born digital
SESI II: Membaca Arsip, Menuliskan Sejarah
Seminar Kuasa Ingatan kali ini akan diawali dengan menekankan pada perlunya kita menempatkan arsip sebagai garda depan dari politik ingatan. Menjaga dan mengelola ingatan kolektif tidak pernah dapat dilepaskan dari kuasa, tidak pernah dapat dilepaskan dari konteks sosial-politik. Karena persoalan ingatan sudah pasti persoalan kekuasaan. Dalam konteks hidup berbangsa, kita telah memiliki pengalaman yang menegaskan hal tersebut. 30 tahun kekuasaan Orde Baru tentu telah menegaskan hal itu, bahwa ingatan ialah soal kekuasaan.
Di sisi lain, arsip dan ingatan juga merupakan pengetahuan sekaligus sumber pengetahuan. Sebagai sumber pengetahuan, dimensi pengelolaannya tentu tidak bisa dianggap sebagai perkara teknis semata. Belum lagi ketika kita tempatkan pada konteks masyarakat terjajah, dimana lembaga arsip nasional yang kita kenal sekarang merupakan salah satu warisannya.
Dalam Arsipelago, Yoshi Fajar menulis bahwa nalar yang ditemukan terkait kerja pengarsipan secara nasional ialah sebatas pada politik klaim dan politik akses. Apakah benar demikian? Paradigma apa (saja) yang mendasari kerja pengarsipan nasional? Bagaimana kaitan praktik pengarsipan nasional ketika ditempatkan dalam konteks strategi kebudayaan?
Pada sesi ini kita akan mendengar paparan dari seorang sejarawan yang banyak bekerja dengan arsip, untuk membahas lebih lanjut model dan sistem pengarsipan nasional kita. Metodologi apa yang bekerja mendasari pengarsipan nasional kita? Bagaimana sistem yang diaplikasikan secara nasional? Jenis pengetahuan apa yang menjadi dasar dari metode pengarsipan kita, yang kemudian mereproduksi pengetahuan tersebut? Bagaimana jika sistem pengarsipan Indonesia dibandingkan dengan sistem yang hidup di negara lain, yang berangkat dari landasan epistemik atau metodologi pengarsipan tertentu?
Ketika kita melihat peran negara yang sedemikian besar dalam menjalankan, mengatur sekaligus mengarahkan praktik dan politik pengarsipan di Indonesia, bagaimana negara melihat peran masyarakat sipil atau kelompok masyarakat sipil sebagai bagian dari dinamisator politik pengarsipan kita?
Secara singkat sesi seminar ini ingin mengupas metode dan metodologi pengarsipan, baik dari sisi pengguna, seperti sejarawan, dan juga arsiparis atau pelaku yang sehari-harinya terlibat dalam kerja pengarsipan. Lapisan metode dan metodologi pengarsipan tersebut kami eksplisitkan untuk meninjau sejauh mana kita memperhatikan politik pengetahuan dan pengarsipan kita.
Kerangka Acuan Seminar Hari 2: Digital Humanities
-
SESI I: Seni di dalam Media Digital: Estetika, Kurasi, dan Konservasi Seni Digital
Sebelum istilah “seni digital” dikenal, orang melabeli segala praktik seni yang menggunakan teknologi digital sebagai medium artistik (dan atau alat) dengan sebutan “computer art”, “multimedia art”, “net-art”, “tele art”, atau bahkan “video art”. Istilahnya tampak selalu merujuk pada jenis teknologi yang digunakan. Namun, setelah bentuk-bentuk teknologi semakin canggih dan kompleks, digunakan istilah seni digital atau yang paling umum, seni media baru.
Teknologi selalu berkembang dan memicu seniman untuk memanfaatkannya baik sebagai “medium” maupun sebagai “alat” –disebut sebagai “medium” jika dalam pembuatan hingga presentasinya menggunakan benda teknologi yang spesifik, sementara disebut sebagai “alat”, jika ia dibuat secara analog lalu dihantarkan atau dipresentasikan dengan menggunakan alat teknologis.
Temuan teknologi baru boleh disebut telah memberi pengaruh pada konsep tentang bentuk, ruang, dan hubungan dengan audiens (seniman–karya seni–audiens). Dari segi bentuk, ia membedakan dirinya dengan karya-karya yang menggunakan medium tradisional. Piranti-piranti teknologi menjadi bagian integral dari karya itu sendiri, atau kalau tidak memberi kesan visual yang sama sekali berbeda dengan karya yang dikerjakan secara analog. Imajinasi ruangnya pun meluas, tidak melulu dipresentasikan di ruang pamer, tetapi juga ruang maya seperti yang kita temukan pada net-art.
Dalam berbagai kajian, perluasan ruang dan bentuk seni yang serba-beragam, juga didorong oleh hasrat agar audiens bisa berinteraksi dengan karya seni. Dalam praktik seni yang lebih “tradisional”, karya dan audiens seolah berjarak. Karya seni diposisikan sebagai objek pasif atau benda suci yang tidak boleh disentuh.
Praktik termutakhir tentu saja bisa kita lihat dari praktik seni yang memanfaatkan jejaring sosial. Seniman seperti Amalia Ulman, misalnya, bahkan sekadar menggunakan telepon selulernya untuk membuat sebuah karya performance (durational performance) untuk ditampilkan di akun Instagramnya.
Tentu saja hal seperti ini memicu banyak pertanyaan dan debat perihal estetika dan batas-batas dari seni itu sendiri. Bagaimana estetika sebuah karya seni digital dilihat? Bagaimana mengkurasi karya seperti ini? Sekiranya dikoleksi, bagaimana pula sistem perawatannya? Bagaimana dengan problem otentitas dan hak ciptanya, mengingat ia muncul dan disebarkan melalui jejaring sosial yang bisa diakses atau disimpan siapa saja? Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu masih sangat memungkinkan untuk dikembangkan. Kita berharap, melalui sesi ini, berbagai isu termutakhir dalam seni digital bisa diulik lebih jauh.
-
Sesi II: Memahami Masyarakat Digital
Di tahun 1980-an, Sherry Turkle dengan sangat serius meneliti perubahan kebiasaan manusia akibat datangnya teknologi baru. Saat itu, komputer sudah dipasarkan secara publik dan muncul aneka permainan yang memungkinkan seseorang untuk membuat avatarnya, personifikasi dirinya yang utuh dan berinteraksi dengan mesin teknologi seolah itu dunia yang nyata. Turkle menyebutnya sebagai “the second self”, kedirian lain, yang seolah-olah menjadi cermin bagi penggunanya.
Tidak lama berselang, setelah perambah maya ditemukan (web browser), teknologi internet dipergunakan secara luas dan memunculkan fasilitas lain yang memungkinkan seseorang untuk berinteraksi dengan orang lainnya secara maya. Ini jauh dari bayangan Turkle dan buru-buru memperbaharui kesimpulannya. Orang tidak lagi berinteraksi dengan mesin sebagai avatar, tetapi sudah berinteraksi dengan manusia lainnya melalui perantara internet (lewat fasilitas Internet Relay Chat, misalnya). Jarak bukan lagi soal dan sudah barang tentu melahirkan cara pandang yang baru. Tentu ini tidak lagi berada dalam pengertian “second-self”-nya Turkle yang mengandaikan manusia melihat dirinya melalui cermin mesin. Kini orang sudah saling terhubung di dalam ruang baru yang sama.
Saat ini situasinya kian kompleks, terutama sejak munculnya jejaring sosial. Jejaring sosial memang menjadi panggung untuk menampilkan subjektivitas yang palsu. Lewat jejaring sosial, Facebook misalnya, detail profil pengguna seperti foto, warna rambut, preferensi film, musik, dll, ditampilkan. Meski begitu, profil tersebut tidak lagi menunjuk diri pengguna yang sebenarnya, tapi menjadi personifikasi diri-Imajiner yang ideal bagi penggunanya.
Daftar “teman” seolah menjadi target dari setiap aktivitas seorang pengguna di jejaring sosial. Orang mengunggah sesuatu untuk menghadirkan diri-Imajinernya di hadapan orang lain yang juga ada di dalam ruang itu. Pengguna seperti butuh untuk eksis agar bisa selalu muncul di layar smartphone atau laptop pengguna lain. Di samping itu tidak ada otoritas yang tunggal maupun konsensus moral yang berlaku umum di dalam jejaring sosial. Segala jenis manusia hadir di dalamnya, saling berinteraksi dan seringkali berbenturan antara satu dengan yang lainnya.
Itu hanya satu ekses dari penggunaan teknologi digital. Ekses lainnya tentu ada, seperti tumbuhnya jurnalisme warga secara daring maupun penerbitan elektronik yang memungkinkan akses atas pengetahuan yang jauh lebih mudah dari sebelumnya. Pengarsipan dan proses saling berbagi arsip mengenai suatu isu pun kian mudah. Pendek kata, pertukaran pengetahuan secara massif dan luas sangat dimungkinkan di ruang digital.
Masih terlalu banyak kemungkinan yang bisa muncul dari penggunaan teknologi digital termutakhir. Sebab, benda teknologis seperti smartphone sudah semakin menubuh pada diri manusia. Kita perlu untuk melihat gejala ini lebih lanjut, memahami relasi yang intim antara manusia dengan teknologi beserta efek-efeknya. Itu yang kita harapkan juga muncul pada sesi ini.
Kerangka Acuan Seminar Hari 3: Membaca Ulang Gagasan Tentang Estetika dan Politik
-
Sesi I: Politik yang Estetis, Estetika yang Politis
Pada sesi ini, kita mau membicarakan kaitan antara seni dan politik. Keduanya memang merupakan bidang kajian yang terpisah tetapi bisa saling beririsan. Dalam konteks seni, kita mengenal istilah seni politis (political art). Di sepanjang abad ke 20 hingga saat ini, kita bisa mencatat berbagai jenis praktik maupun wacana mengenai seni politis. Dari realisme sosial, Situationalist International (SI), hingga seni propaganda. Namun demikian, kita tidak bisa mengatakan bahwa semua karya punya tendensi poltis tertentu. Seni politis juga tidak melulu soal resistensi, berwatak revolusioner atau demi kepentingan perubahan sosial dan perjuangan kelas. Praktik seni yang menghamba pada kekuasaan tertentu atau mempertahankan status quo juga bisa disebut politis. Bahkan pada masa sekarang, ia sudah menjadi semacam jargon yang populis sehingga rentan dikomodifikasi oleh pasar atau neoliberalisme–sekadar menggunakan jargon seni yang politis sebagai emblem.
Setelah reformasi di tahun 1998, Indonesia memasuki sebuah babak baru, baik untuk kehidupan masyarakatnya maupun dalam konteks praktik seninya. Setelah 32 tahun hidup di bawah represi politik, masyarakat Indonesia berusaha untuk belajar berdemokrasi. Ada euphoria atau harapan besar pada visi politik dan sosial yang baru. Hanya saja, tampaknya belum benar-benar siap. Selain masih besarnya pengaruh dari rezim lama, ia rupanya juga masih mempunyai persoalan lain, yakni fundamentalisme agama. Seni–yang juga sementara mencari bentuk artikulasi politisnya yang baru–menghadapi masyarakat yang sedang berupaya menyolidkan imajinasinya atas demokrasi tapi masih dibayang-bayangi oleh agama yang belum terdefinisikan perannya di dalam kehidupan bernegara.
Letupan-letupan persoalan dari fundamentalisme agama di Indonesia muncul dalam berbagai bentuk. Salah satunya yang terjadi baru-baru ini di Jakarta. Pemicunya adalah tuduhan terhadap Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), yang dianggap menistakan agama Islam, agama mayoritas di Indonesia. Tuduhan itu muncul menjelang Pilkada di DKI Jakarta, di mana Ahok kembali maju sebagai salah satu kandidat. Ahok yang beragama Kristen dan beretnis Tionghoa (salah satu etnis minoritas di Indonesia), menjadi sasaran kemarahan ratusan ribu umat Islam yang merasa agamanya dinistakan. Mereka menggelar beberapa aksi massa besar-besaran, menuntut agar Ahok diproses secara hukum. Hasilnya, selain kalah di Pilkada, Ahok juga dipenjarakan.
Dalam banyak kasus, termasuk kasus Ahok di Jakarta, kita bisa melihat bahwa objek dari propaganda fundamentalisme lebih dipengaruhi oleh pengalaman estetis daripada pengalaman spiritual. Bukan digerakkan oleh pertimbangan kognitif, tetapi estetis. Artikulasi politik yang rasional, dalam berbagai kasus, sedikit gagal sebagai bahan propaganda. Isu agama tampak punya daya ledak yang lebih besar ketimbang isu ekonomi-politik. Lebih mudah memobilisasi massa dengan menjual isu agama saat ini daripada isu korupsi atau penetrasi korporasi-korporasi ekstraktif yang merugikan masyarakat di sebuah kawasan.
Situasi seperti inilah yang tengah dihadapi oleh seni. Kita mau membuka ruang dialog untuk secara bersama-sama mendekati persoalan-persoalan ini. Jika wacana di dalam fundamentalisme agama mampu menawarkan suatu imajinasi kehidupan yang baru, seni akan bisa menawarkan apa? Seni selalu berambisi untuk menjadi politis, apakah politik juga punya kepentingan untuk menjadi estetis? Kalau iya, seperti apa bentuknya?
Pada sesi ini kita diharapkan bisa:
- Mendapatkan penjelasan mengenai fenomena fundamentalisme agama di dalam masyarakat yang sedang dilanda euphoria pasca-otoritarianisme dan berharap pada visi demokrasi.
- Mendapatkan penjelasan mengenai posisi seni di dalam gerakan politik yang tidak sebatas pada pengertian sebagai ‘alat propaganda politik’ saja.
- Mengetahui bagaimana peluang seni bisa mendampingi masyarakat yang berharap pada visi sosial dan politik yang baru.
- Mengetahui bentuk-bentuk gagasan seni dan politik yang memungkinkan untuk dikembangkan saat ini.
- Sejauh mana tradisi analisis wacana dan psikoanalisa bisa membantu kita dalam membaca fenomena yang ada di Indonesia?
-
Sesi II: Seni dan Aktivisme di Indonesia Pasca-1998
Seni dan politik di Indonesia punya riwayat pembicaraan yang panjang. Setidaknya sejak era Sudjojono dan PERSAGI, seni dan politik sudah saling bertaut. Melalui diktumnya, “kebenaran dulu, baru kebagusan”, Sudjojono seolah mau menempatkan seni sebagai salah satu lokomotif perjuangan politik. Atau kalau mau merujuk yang lebih lawas, lukisan “Pertarungan sampai Mati” dan “Penangkapan Diponegoro” karya Raden Saleh, misalnya, yang sudah menunjukkan nuansa “politis” sebagai seorang masyarakat terjajah yang (meski ambivalen) jengah dengan perlakuan penjajahnya.
Setelah PERSAGI, kita bisa menunjuk Seniman Indonesia Muda (SIM), Pelukis Rakjat, dan tentu saja LEKRA yang dalam manifestonya jelas-jelas punya keberpihakan sosial-politik. Seni diarahkan agar sebisa mungkin dekat dan membicarakan soal-soal kerakyatan. Periode setelahnya, pasca-65, isu sosial-politik cenderung sepi dan mulai ramai kembali setelah memasuki era 80an akhir hingga sepanjang era 90an. Beberapa pendapat sebenarnya turut menunjuk GSRB yang lahir di tahun 1974 sebagai salah satu gerakan penting yang berupaya mengangkat kembali persoalan sosial-politik pasca-65. Hanya saja klaim itu seringkali dianggap post-factum, sebab baru didengungkan jauh setelah GSRB muncul.
Menjelang tumbangnya Orde Baru (periode 90an), isu sosial-politik dalam praktik seni rupa bak air bah. Para seniman ramai-ramai menginterupsi kekuasaan lewat karya-karyanya atau menggabungkan diri dengan gerakan-gerakan rakyat pro-demokrasi. Selepas Orde Baru tumbang, politik progresif (aktivisme) dalam seni masih cukup terasa. Setidaknya itu bisa dilihat dari dokumentasi audio visual dan tekstual tentang karya dan kegiatan seni, yang dibuat menjelang 1998 sampai awal 2000an. Pada masa-masa itu, banyak seniman membicarakan jejak Orde Baru, misalnya himpitan ekonomi, kekerasan berbaju militer, metafor korupsi, dan seterusnya.
Tak lebih dari satu dekade kemudian, imajinasi sosial-politik di kalangan seni rupa tampak bergeser. Di tengah masyarakat yang mendorong kebebasan berpendapat dan berekspresi, imajinasi berkehidupan sebagai insan seni diungkapkan dengan cara-cara yang berbeda dari sebelumnya. Boleh dikata, seniman yang berkarya setelah Reformasi cenderung menghindari ekspresi politik yang terbatas pada keluh kesah terhadap rezim Orde Baru. Politis-tidaknya sebuah praktik artistik tidak melulu dilihat dari idiom visual dan jargon. Seniman visual hari ini tidak sungkan mengangkat hal-hal keseharian yang remeh-temeh, menjadikan dirinya sebagai studi kasus, bahkan mengharapkan komentar insan seni lain untuk turut mengevaluasi temuannya sebelum mulai berkarya.
Imajinasi sosial-politik yang beragam pada periode tersebut di atas terkandung dalam dokumen peristiwa seni yang dikumpulkan IVAA. Dokumen-dokumen tersebut tentu tidak mencerminkan situasi umum yang terjadi dalam medan seni rupa Indonesia, terlebih yang dilirik hanya pada wilayah Yogyakarta. Sejumlah kegiatan seni diselenggarakan untuk merespon berbagai persoalan, entah itu lingkungan atau kewargaan secara umum. Dari yang coraknya “progresif” (aktivisme seni & warga) hingga yang populis. Di dalamnya pun kita bisa melihat variasi istilah untuk menggambarkan subjek yang berupaya disuarakan, dari rakyat, masyarakat, hingga yang paling dominan kita dengar saat ini, yaitu publik.
Pada sesi ini kami mengajak segenap kalangan seni dan ilmu sosial untuk mengevaluasi politis-tidaknya sebuah praktik artistik atau proyek seni. Apakah klaim tersebut sekadar slogan atau memang menawarkan imajinasi baru mengenai seni dan gerakan sosial? Apakah berkesenian sama dengan menyampaikan aspirasi, dengan kata lain suatu perayaan demokrasi? Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, semoga kita dapat membicarakan apa itu pengalaman estetik bagi bangsa Indonesia, saat semangat mewujudkan demokrasi muncul dengan beragam bentuk. Perihal demokrasi di Indonesia masih belum bisa mengatasi persoalan SARA yang ditandai dengan fundamentalisme agama hingga kekerasan agama dan etnis mayoritas terhadap minoritas. Mengingat dinamika masyarakat tidak semata-mata diwarnai dimensi kognitif, bagaimana agar studi estetika mampu membuka perspektif seluas-luasnya untuk membicarakan visi kehidupan yang adil?
Diskusi pada sesi ini salah satunya akan menggunakan bahan-bahan dari katalog data yang disusun IVAA. Dalam katalog data tersebut telah dibuat klasifikasi, yakni seni dan isu politik, seni di ruang publik, serta seni dan isu lingkungan.