ibed-surgana-yuga-sutradara-monolog-menjaring-malaikat

Konsep Penyutradaraan Monolog Menjaring Malaikat

Monolog Menjaring Malaikat | KERJA penyutradaraan dan kerja penulisan naskah (pengadaptasian cerpen) “Menjaring Malaikat” adalah proses yang simultan, tanpa saling mendahului. Kedua kerja ini kemudian saling memengaruhi, saling memberi isi dan saling kritik. Penyutradaraan yang lebih konsen pada subjek peristiwa-laku tidak selalu mesti menerjemahkan peristiwa-teks yang ada dalam naskah. Seringkali penyutradaraan menemukan subjek peristiwa lakunya terlebih dahulu, baru kemudian penulisan naskah menerjemahkannya ke dalam peristiwa teks – meskipun sebatas untuk kebutuhan pendokumentasian tertulis. Hanya saja sutradara dan penulis naskah memiliki teks rujukan yang sama, yaitu cerpen “Mereka Toh Tak Mungkin Menjaring Malaikat” karya Danarto.

Monolog Menjaring MalaikatWalaupun wacana sastra menempatkan cerpen-cerpen Danarto sebagai “realisme-magis”, namun penyutradaraan tidak terlalu hirau dengan ini. Proses pembacaan terhadap cerpen Danarto yang kami lakukan justru menemukan semangat kebermain-mainan. Dalam cerpen ini Danarto sedang berman-main dengan tokoh malaikat yang kudus, dipiuhkannya jadi pembawa teka-teki mistis hingga sosok mirip badut yang dicandai anak-anak SD. Ini kami rasa lebih pas dengan semangat penggarapan pertunjukan daripada tetap percaya tanpa syarat terhadap “realisme-magis”. Maka “main-main” menjadi semangat kerja penggarapan yang kami lakoni, dan tanpa kami sadari ternyata menjadi konsep yang melandasi kerja kami.

Berbekal semangat main-main pula kami menggiring tokoh Jibril jadi tokoh yang santai, suka bercanda, bahkan hampir seperti manusia kurang kerjaan. Dan meskipun di beberapa bagian Jibril tetap nampak agung, namun ia dengan mudah memain-mainkan peristiwa-peristiwa genting umat manusia jadi semacam humor sepele namun satir. Dengan semangat bermain-main pula tanpa sungkan kami masukkan beberapa peristiwa mutakhir – yang penting maupun tidak – ke dalam lakon.

Aktor tunggal dalam pertunjukan ini diposisikan sebagai manusia yang bisa membelah diri jadi banyak sosok. Proses penggarapan pertunjukan ini di satu sisi juga menjadi wadah untuk menguji kekuatan aktor dalam pertemuan dan dialognya dengan elemen-elemen “mati” di atas panggung, bukan dengan aktor lain. Kerja penyutradaraan dan keaktoran juga diposisikan sebagai kerja dialogis yang saling tawar-menawar. Aktor sebenarnya juga melakukan kerja self-directing yang tinggi. Hubungan sutradara dengan aktor jauh dari proses transfer konsep searah. [isy]