header-menjaring-malaikat-3

Konteks dan Latar Belakang Menjaring Malaikat

Jika mendengar kata ataupun nama ”Danarto” yang terbersit dalam benak sebagian orang bisa jadi adalah Godlob. Pun sebaliknya, apabila mendengar dan membaca kata ”godlob” sebagian orang mungkin juga akan langsung mengidentikan dengan sosok Danarto. Ya, selain karya rupa yang belia bikin, karya sastra juga menjadi bagian lain yang tak terpisahkan dari seorang Danarto. Sosok seniman sekaligus sastrawan yang pernah menempuh pendidikan tinggi di ISI Yogyakarta.

Berawal dari Danarto itulah pementasan monolog ‘menjaring malaikat’ ini lahir. Tepatnya berawal dari satu cerpen ”mereka toh tak menjaring malaikat” karya Danarto yang dipublikasikan tahun 1975, dan selanjutnya juga dibukukan dalam kumpulan cerpen Adam Makrifat.

Dari dua buku kumpulan cerpen karya Danarto, yaitu Godlob dan Adam Makrifat, kami –tim Jaring Project, pada akhirnya atas berbagai pertimbangan dan pemikiran, membulatkan diri untuk memilih cerita pendek dengan judul ”Mereka toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat,” untuk kemudian kami adaptasi ke dalam bentuk seni pertunjukan ”Pentas Monolog.”

Beberapa pertimbangan itu antara lain karena kami melihat bahwa aktor Jamaluddin Latif merasa sangat tertantang untuk mengeksplorasi cerita tersebut dengan segala bentuk yang diinterpretasikan oleh Desi Puspitasari sebagai penulis naskah, dan juga Ibed Surganayuga sebagai pihak yang menyutradarai pementasan ini.

Meski karya ini telah dipublikasikan lebih dari 40 tahun lalu, namun pada kenyataannya kami melihat bahwa cerpen ‘mereka toh tidak mungkin menjaring malaikat’ masih bisa diolah dan dipresentasikan pada zaman sekarang. Dengan kata lain, karya lama ini tetap masih up to date ketika dipersembahkan kepada khalayak yang bukan saja sebatas pembaca sastra, namun juga penikmat seni pertunjukan. Di samping itu, Jamaluddin Latif sebagai aktor juga sangat berminat untuk mengeksplorasinya ke dalam bentuk gerak-pementasan, yang meskipun masih beraroma surealis namun tetap bisa diperankan secara realis. Hal itulah yang membuat kami semakin yakin bahwa inilah bentuk yang juga acap dinamakan sebagai Realisme Magis; yang tak harus terhalang oleh alasan sosial, sejarah, kultur, atau ideologi sekalipun. Ia akan tetap layak dimunculkan ke dalam segala lini, segala situasi pun kondisi, juga segala atmosfir, dengan tanpa harus terbelenggu pada tekanan politik serta tak harus melawan arus perkembangan zaman.

Karenanya, bisa saja dikatakan bahwa; bagian sureal itu merupakan bentuk realis magis yang biasa diusung oleh Danarto dan kami hadirkan kembali dalam pertunjukan.

Dalam naskah monolog “menjaring malaikat” ini, selain melakonkan dua tokoh utama, yaitu tukang kebun dan malaikat, terdapat pula beberapa tokoh sampingan; bapak guru dan murid-murid Sekolah Dasar. [uth]