CERPEN ’Mereka Toh Tak Mungkin Menjaring Malaikat‘ sebenarnya bukan cerita yang sulit. Tokoh-tokohnya tertulis jelas; malaikat Jibril, tukang kebun, istri tukang kebun dan dua anaknya (meski hanya disebutkan singkat), dan anak-anak. Inilah yang tergambar, yang bisa saja dikatakan sebagai ‘premis‘ dari cer-re-createpen tersebut.
Hanya saja, ketika dari sebuah cerpen yang mudah ini kemudian dialihwujudkan menjadi sebuah naskah monolog yang akan dipentaskan ke panggung, maka di sinilah kesulitan memahami cerpen ini muncul. Pasalnya penulis naskah harus mencari tahu lebih, guna mengetahui apa saja motif para tokoh melakukan semua tindakan di dalam cerpen itu.
Cerpen memiliki narasi-narasi panjang yang biasa digunakan untuk menjelaskan situasi atau setting waktu dan lokasi juga isi pikiran tokoh-tokohnya. Sementara naskah drama dan juga naskah monolog yang membacanya dilakukan secara lantang (berbeda dengan membaca cerpen yang bisa dan cukup di dalam hati), narasi-narasi yang ditulis harus dipilih dengan cermat dan lebih banyak tindakan – yang menggerakkan tokoh pun memperistiwakan di atas panggung.
Dalam cerpen karya Danarto ini pertama-tama penulis naskah mulai mencari apa motif malaikat Jibril menjebol genteng-atap kelas. Karena, motif tukang kebun, bapak guru dan anak-anak kelas sudah dijelaskan oleh penulisnya di dalam cerpen. Seperti misalnya tukang kebun ingin menjaring malaikat untuk menunjukkan pada pak guru bahwa perkataannya benar, juga untuk memenuhi permintaan Jibril yang ingin bermain dengan anak-anak.
Awal mengadaptasi cerpen menjadi naskah monolog ini penulis naskah memunculkan dua tokoh utama; Jibril dan tukang kebun. Hanya saja apa motif Jibril di sini masih belum begitu jelas. Seperti; apa pentingnya ia melakukan tindakan menganggu anak-anak dan guru di kelas? Juga, apa pentingnya sampai ia harus mendatangi tukang kebun di mimpi untuk mengatakan keinginannya bermain-main dengan anak-anak SD?
Pertemuan pertama dengan seluruh tim Jaringpro Ject membantu mengurai kebingungan itu. Setelah berdiskusi, muncullah motif utama Jibril di dalam naskah monolog (yang bisa saja ini juga berbeda dengan maksud dan tujuan Danarto saat menulis cerpen), yaitu ia sudah tak punya pekerjaan lagi sehingga mengisi waktu luangnya dengan bermain-main. Salah satu wujud kebermainannya adalah dengan membikin rusuh di sebuah sekolah dasar.
Berangkat dari diskusi tersebut tersusunlan beberapa karakter dengan berbagai latar belakang; Jibril sebagai malaikat pengangguran, tukang kebun dengan keadaan miskin sehingga memunculkan karakter bodoh dan naif, sementara pak guru sebagai wakil orang kolot dan tak berpikiran terbuka, dan anak-anak adalah lambang jiwa polos yang bisa melihat kelucuan Jibril seperti badut.
Pada akhirnya naskah tetap diadaptasi menggunakan dua karakter utama yaitu Jibril dan Tukang Kebun. Mengenai penjelasan bagaimana Pak Guru dan anak-anak bisa diselipkan pada dialog-dialog yang kelak diucapkan oleh dua karakter utama. Karena bila ditambahkan karakter utama lagi dengan penonjolan sifat secara gamblang, ada kekhawatiran bahwa naskah monolog ’Menjaring Malaikat’ ini justru akan menjadi terlalu cerewet.
Bila Jibril melakukan semua tindakan di dalam naskah monolog tujuannya untuk bermain-main dengan sesama manusia dewasa, sesama malaikat, dan juga anak-anak. Maka, tema korupsi pun dimasukkan melalui dialog-dialog Tukang Kebun. Melalui tokoh tukang kebun yang merepresentasikan karakter wong cilik, di sana banyak gerundelan mengenai tindakan para koruptor yang mengesalkan dan seolah-olah dapat berbuat apa saja mentang-mentang duitnya banyak – padahal uang itu milik negara yang mereka embat tanpa merasa berdosa.
Kenaifan tukang kebun terbaca ketika menurut anggapannya korupsi itu hanyalah tindakan mengambil duit negara dalam jumlah besar, misalnya milyaran dan triliyunan. Sementara ia dan anak-anaknya yang mengambil duit istri dan-atau ibunya, itu bukan merupakan tindak korupsi, alasannya adalah jumlah yang hanya sedikit. Sebenarnya hal ini dimunculkan untuk memancing penonton agar mau berpikir dan juga menyadari bahwa sesungguhnya tindak korupsi tak melulu hanya sebatas urusan uang, utamanya jumlah yang besar. Membolos atau pulang kerja lebih dini juga termasuk korupsi, yakni korupsi waktu. Mencurangi timbangan di pasar juga termasuk korupsi. Menggunakan uang SPP untuk berbelanja barang lain juga iya. Banyak tindakan korupsi yang tanpa sadar banyak dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Mengenai nilai lain yang dimasukkan ke dalam naskah adalah perihal agama – terutama kebencian antar pemeluk agama karena merasa golongan atau kelompoknya adalah yang paling benar dan suci. Pada tema ini Desi Puspitasari selaku penulis naskah banyak dibantu Utroq Trieha perihal memasukkan narasi-narasi yang menjelaskan bahwa tindakan tersebut sebenarnya sama seperti korupsi; tak betul untuk dilakukan.
Pada adegan orasi kaum Pembela Agama garis depan sengaja dinarasikan dan diadegankan secara frontal, yaitu seseorang yang menyebarkan kebencian dengan terang-terangan. Sementara nilai lain yang menjelaskan bahwa tindakan tersebut tak tepat kami masukkan ke dalam narasi-narasi malaikat Jibril.
Seperti misalnya; Jibril yang menyebutkan bahwa gangguan-gangguan itu ia ciptakan untuk menguji keimanan manusia yang pada kenyataannya manusia-manusia pemarah itu tak sanggup. Juga pada adegan murid-murid dan guru belajar di bukit di seberang sekolah. Hal ini kami manfaatkan untuk menyisipkan narasi yang menyebutkan bahwa belajar sesungguhnya tak harus melulu di dalam kelas – kelas yang merupakan ruangan tertutup yang kami simboliskan sebagai pikiran manusia yang tertutup dan terkungkung rasa paling benar sendiri. Dengan belajar di ruang terbuka, belajar dari banyak kitab, dan juga munculnya kesadaran bahwa alam sesungguhnya adalah kitab-Nya, diharapkan manusia juga bakal berpikiran terbuka sehingga tak mudah mengkafirkan pihak lain yang tak seiman, pun secara subyektif melemparkan tuduhan ekstrimis kepada pihak lain yang tak sejalan.
Penyusunan naskah sebagai bentuk cetak monolog sebenarnya sudah selesai ketika naskah di-print, namun sesungguhnya juga belum benar-benar selesai. Bagaimana kemudian teks tersebut diwujudkan oleh aktor di atas panggung sedikit banyak akan ’mengubah‘ teks. Ada beberapa dialog yang diganti, ada beberapa adegan yang harus ditambahkan dan dikurangi. Hingga menjelang pentas naskah ’belum juga‘ fixed. Barulah usai pentas naskah tersebut menjadi tetap dan tak bisa diutak-atik lagi.
Setelah pementasan selesai, dan saat hendak dipanggungkan di kota lain, naskah monolog Menjaring Malaikat tetap akan mengalami perubahan. Seperti dengan memampatkan bagian tukang kebun yang berbicara mengenai isu korupsi yang dirasa terlalu panjang, bahkan juga mengenai artistik yang hendak ripertunjukkan.
Well, proses adaptasi memang tidak semudah bayangan yaitu menyusun ulang dan selesai. Namun, proses adaptasi juga ’memaksa’ penulis naskah untuk mengenal si empunya cerita yang hendak digubah baik secara format maupun mediumnya. Proses ’mengobrak-abrik’ naskah menjadi susunan baru memang sulit dan membikin pusing karena kerap menimbulkan pertanyaan, ’Ini maksud cerpenisnya apa?’. Namun, juga merupakan proses yang mengasyikkan karena Desi Puspitasari sebagai penulis naskah juga bisa ‘merasakan penjelajahan’ dalam berbagai kemungkinan –yang bisa dimasukkan dalam naskah monolog, dan menjadikan tokoh Jibril pun Tukang Kebun sebagai milik penulis, karena merupakan hasil me-re-create atau merekreasi, atau mereka ulang tokoh-tokoh yang sudah ada menjadi sebuah pribadi yang ’baru’. [des]