Pertunjukan Perawan Batin | JAGONGAN WAGEN merupakan kegiatan rutin yang diadakan di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja di Bantul. Event ini dimaksudkan menjadi ruang bagi masyarakat seni dan selain seni untuk bersama-sama menjaankan proses belajar kreatif, kolaboratif, eksploratif dan edukatif melalui proses penciptakaan dan pementasan.
Perawan Batin merupakan salah satu judul pertunjukan yang hadir di Jagongan Wagen pada Sabtu, 22 April 2017 pkl. 19.30 WIB. Ceritanya sendiri mengangkat penggalan kisah Rara Mendut yang pernah ditulis oleh sastrawan, romo, dan juga seorang arsitek, yaitu YB Mangunwijaya.
Perawan Batin di Tangan Seniman Peraih Beasiswa Seniman Pasca-terampil 2017
PSBK mengadakan program beasiswa seniman pasca-terampil tahun 2017 ini. Malam itu para peserta terbagi menjadi dua: pentas di panggung Jagoangan Wagen dan mengadakan pameran seni rupa.
Malam itu empat seniman yang tampil dalam pertunjukan Perawan Batin adalah Ahmad Abdushomad (aktor, Yogya), Endang Setyaningsih (penari, Prambanan), Rafika Dian Anggraini (perupa, Surabaya), dan Stevan Sixcio Kresonia (petinju dan pelukis, Padang).
Perawan Batin sendiri merupakan pembuka dari Proyek Interdisiplin Rara Mendut tahun 2017. Teks yang digunakan mengambil dari bagian awal dari kisah Rara Mendut yang ditulis oleh YB Mangunwijaya, berdasar cerita rakyat klasik Babad Tanah Jawi.
Rara Mendut pada mulanya hanyalah seorang gadis pesisir yang suka bermain-main dengan air laut. Namun nasib hidupnya berkata lain, ia terpisah dari keluarganya dan lautan, lalu pada akhirnya tergeret masuk pada arus nasib dan politik kaum ningrat.
Melalui Perawan Batin, masing-masing seniman ditantang untuk mampu menafsir dan mengimajinasikan atass situasi batin yang dihadapi Rara Mendut. Terkait pernikahan Mendut yang menjadikannya seorang selir yang pada akhirnya malah menjadi tawanan, dan akan dijadikan hadiah persembahan untuk Raja Mataram.
Kurang Fokus
Perawan Batin sendiri bisa dimaksudkan untuk menunjukkan bagaimana sikap Mendut. Selagi menjadi tawanan, ia tetap menjaga kemerdekaan jiwanya, kesetiaannya pada harapan bahwa ia akan bisa kembali pada laut dan kebebasan. Meski pada akhirnya perjalanan hidup malah membawanya ke arah berlawanan.
Instalasi rupa malam itu justru jauh lebih menarik ketimbang pertunjukannya sendiri. Sudah dijelaskan bahwa Perawan Batin mengambil bagian awal naskah Rara Mendut, tapi sepertinya hanya diterjemahkan secara ‘enteng’.
Bahwa nukilah naskah yang dibawa ke atas panggung menjadi satu pertunjukan ‘baru’ pun memerlukan pengolahan lagi. Yakni, makna bagian apa yang harus ditekankan, dan bagaimana rupa yang dibawa ke atas panggung bisa mendukung keluarnya cerita tersebut yang bisa dinikmati penonton dengan perasaan terkesan.
Secara keaktoran, diketahui bahwa pada panggung malam itu bermain empat seniman dari lintas disiplin; aktor, penari, perupa, dan pelukis. Sebagai penonton, bisa maklum saat melihat perupa dan pelukis di atas panggung; kaku meski usahanya tampil layak mendapat applaus.
Hanya saja, sebagai Rara Mendut, tokoh sentral, Endang Setyaningsih yang juga penari kurang mengeksplor gerakannya. Kurang luwes, dan perasaannya kurang terpancar keluar di atas panggung hingga sampai ke penonton. Tubuh mungilnya seharusnya tak menjadi halangan bila seniman tari satu itu memiliki power yang luar biasa.
Well, ini adalah proses. Masih ada banyak waktu untuk terus belajar. Yang pasti, pertunjukan Perawan Batin pada malam Jagongan Wagen patut mendapatkan apresiasi. [des]