Puzzle Kekerasan Seksual Pertunjukan Kami Bu-Ta

Kami Bu-Ta | Ruangan luas di Jogja National Museum (JNM) itu ditutupi kain hitam yang dibentangkan menutupi seluruh bagian. Seseorang meniup peluit keras-keras sebagai tanda pertunjukan akan dimulai. Berduyun-duyun para penonton beranjak masuk. Hanya ada kegelapan semata, kecuali di sebuah sudut yang tampak remang. Dua penari yaitu Ayu Permata dan Pebri Irawan yang tergabung dalam Ayu Permata Dance Company (APDC) memulai aksinya.

Kekerasan SeksualSelotip merah dan selotip hitam dirobek oleh Pebri, ditempelkan erat-erat menutup mulut Ayu Permata. Sebuah adegan sebagai ancang-ancang pertunjukan tari yang mengangkat tema mengenai kekerasan seksual sebagaimana yang tertulis pada premis pertunjukan mereka, yaitu siapapun bisa menjadi korban kekerasan seksual, bahkan diri Anda sendiri, atau orang-orang terdekat Anda. Adegan pembuka itu menggambarkan bagaimana pertunjukan tari ‘Kami Bu-Ta’  malam itu (Minggu, 8 Oktober 2017) akan berlangsung.

Diawali dengan sosok laki-laki yang begitu berkuasa, panggung pertama menampilkan gambaran kekerasan seksual dengan begitu berkesan. Dua penari di atas panggung pertunjukan berujud sebuah kotak kecil di sudut ruangan, dengan pencahayaan temaram, menampilkan imagi kuat mengenai kekerasan. Hal menarik yang bisa ditemukan di sini adalah penggunaan plastik wrap buble  sebagai alas. Setiap pergerakan penari menghasilkan efek bunyi bergemeritik – terkadang ritmis terkadang random.

Gerakan-gerakan kasar disajikan pada panggung pertama. Pemaksaan saat melakukan hubungan seksual, pemukulan, ancaman, ketakutan semuanya ditampilkan dalam gerakan yang tanpa tedeng aling-aling. Hingga di satu titik, terlihat jelas sorot mata ketakutan sang penari perempuan yang juga (seolah) ingin minta tolong ketika tubuhnya diseret pasangannya. Benar-benar sebuah momen yang menakjubkan. 

Panggung-panggung Kekerasan Seksual

Kekerasan SeksualPertunjukan ‘Kami Bu-Ta’ menyajikan potret-potret kekerasan seksual yang terbagi ke dalam lima panggung; empat panggung kecil dan satu panggung utama yang didominasi warna merah. Setiap panggung menyajikan pertunjukan berdurasi sekitar 15 hingga 20 menit.

Dari panggung satu ke panggung lainnya perwujudan kekerasan seksual ditampilkan menggunakan simbol-simbol berbeda. Pada panggung kedua, kekerasan seksual diawali dengan tampilan yang begitu baik namun juga terasa ‘membosankan.’

Pada mulanya adegan dibuka dengan menampilkan rutinitas, tubuh kedua penari terus bergerak. Hingga Pebri Irawan terjebak dalam kegelapan dan sebuah sinar terang menyorotinya. Lalu pada panggung berikutnya Ayu yang mengenakan sarung tangan merah menyentuh-nyentuh di beberapa bagian tubuh Pebri. Cahaya terang yang selintas-lintas, ditambah dengan warna merah sarung tangan yang mencolok, memberikan kesan mencekam dengan begitu dramatis secara visual.

Pun yang terjadi pada panggung ketiga, keempat, dan seterusnya. Sebagaimana tertulis dalam catatan pertunjukan‘Kami Bu-Ta’  oleh Ayu Permata Dance Company disebutkan bahwa integritas tubuh yang diserang akan sangat mempengaruhi konsep diri seseorang. Contoh real-nya bisa dilihat dalam kasus kekerasan seksual. Kebanyakan dari yang dialami para penyintas, mereka akan mengalami trauma selama masa hidup. Sementara para pelakunya ada yang diproses secara hukum tapi banyak juga yang hanya diselesaikan secara ‘kekeluargaan’. Terlebih jika pelaku masih memiliki hubungan kekerabatan, atau memiliki posisi dan jabatan tinggi dan dihormati.

Artistik Visual yang Menarik

Kekerasan SeksualMenyambung pada paragraf di atas, sebenarnya bisa saja jika dikatakan bahwa kelebihan dari pementasan tari ‘Kami Bu-Ta’ ini terletak pada dua hal, yaitu stamina penari dan artistik visual. Ayu –dan febri- memang oke daya tahannya, artistik visual pun cukup bagus digarapnya. Hanya saja, jika menilik perihal Ayu yang dididik dan dibesarkan dengan keras dan disiplin oleh ayah –sebagai seorang jawara silat di Lampung– tentu penonton (penulis, red) memiliki harapan Ayu bisa lebih dari itu. Pemaparan ini bukan masalah subyektifitas semata, tapi lebih pada hal-hal terdalam yang penonton bisa lihat dari sosok Ayu, yang kemudian juga sangat mungkin untuk bisa dikembangkan oleh Ayu.

Well, terlepas dari itu semua, apresiasi pertama pada sisi artistik visual adalah pengelolaan tata ruang yang begitu luas menjadi lima panggung pertunjukan. Dari panggung yang satu, penonton harus beranjak ke panggung berikutnya untuk menyaksikan jalannya pertunjukan. Pada masing-masing panggung artistik visualnya begitu menarik. Panggung pertama menggunakan plastik wrap buble. Sementara panggung kedua penggunaan sarung tangan merah yang muncul pada sekelabat-kelebat cahaya terang menimbulkan teror pelecehan seksual yang mencekam.

Kerjasama yang dilakukan oleh kelompok APDC dengan kelompok Flying Ballons Puppet juga menawarkan bentuk pertunjukan tari yang berbeda pad apanggung selanjutnya. Pada panggung keempat, tarian disajikan dalam bentuk siluet. Simbolik cerdas muncul ketika siluet tangan si penari laki-laki yang sebelumnya hendak me-nowel bokong, dengan permainan cahaya yang cerdas, tangan itu malah menggandeng tangan si penari perempuan. Hal ini memberi gambaran bahwa adakalanya (atau sering malah?) pelaku kekerasan seksual datang dari orang terdekat korban.

Beberapa ending dari pementasan pada tiap panggung memang menawarkan hal yang cukup menarik. Sebagai contoh pada panggung keempat, bagaimana Ayu menggambarkan harapan untuk selamat itu ada dengan menggunakan balon putih yang sebelumnya diselubungi balon hitam. Namun sayangnya pemanfaatan artistik yang menarik itu tak diimbangi dengan pengemasan alur dan cerita yang padat. Iya, pertunjukan ‘Kami Bu-Ta’ pada tiap panggung malam itu menawarkan berbagai bentuk kekerasan seksual. Akan tetapi pola ‘cerita’nya masih cenderung memberi ledakan di awal, lalu berjalan monoton di tengah.

Playlist Youtube

Kekerasan Seksual - kami bu-taMelalui pertunjukan tari ‘Kami Bu-Ta’, keinginan kelompok tari Ayu Permata Dance Company yang hendak berempati dan menyuarakan kepedihan-kepedihan yang dialami para penyintas memang tergambar. Akan tetapi pada gerak tari, penonton (dalam hal ini penulis, red) lebih terasa disuguhi hal yang diulang-ulang terlalu lama. Bisa jadi hal itu tak terlalu nampak jelas, karena sekali lagi sisi-sisi artistik pertunjukan bisa sedikit menutupinya.

Betul, pengulangan gerak atau cerita bisa dilakukan dengan tujuan untuk menguatkan pesan di dalam sebuah tarian. Namun, bila dilakukan berkali-kali tentu bisa menimbulkan kebosanan. Dengan menata ulang alur dan mungkin membikin tangga dramatik cerita mengenai kekerasa seksual, bisa jadi pertunjukan malam itu lebih dari sekadar kepingan puzzle yang tak memiliki keterkaitan. Karena sekilas terpikir bahwa menyimak satu panggung ke panggung lainnya, kadang mirip menonton Youtube dengan playlist hasil pencarian ‘Ayu Permata Dance’; Lebih menekankan bahwa ‘ini adalah pementasan Ayu Permatadance’, bukan sebuah hubungan yang terkemas dalam satu pementasan bertajuk ‘Kami Bu-Ta.’

Overall, akhir pertunjukan ‘Kamu Bu-Ta’ oleh Ayu Permata Dance Company (APDC) ini adalah satu karya yang sungguh pantas diapresiasi. Apalagi ketika melihat totalitas Ayu, juga Febri Irawan yang bermain tanpa kendor meski ada bagian tubuhnya yang terlihat lecet dan terluka.