USAI naskah lanjutan digarap kembali oleh Desi Puspitasari selanjutnya dilakukan reading dan revisi naskah SEKARMURKA. Meski bedah naskah telah dilakukan bersama tim sejak disodorkan, namun kali ini tanpa ampun penulis masih terus dibantai. Revisi dilakukan bukan saja pada alur, akan tetapi juga pada pelogikaan serta pengadeganan. Ada yang diperistiwakan, ada pula yang dinarasikan. Semua serasa lengkap dan harus dimasukkan ke dalam otak sang penulis.
Selama bulan Oktober, ketika beberapa personil memiliki kendala dalam berlatih dan mengolah karya, maka satu bulan penuh kami break dulu. Dan kemudian dilanjutkan pada bulan November, yang masing-masing dilakukan pada beberapa tempat berbeda. Yaitu kadang di Omah Kebon milik Whani Darmawan, juga di Omah Jayeng Prawiran milik Garin Nugroho.
-
Reading dan Revisi Naskah SEKARMURKA di Omah Kebon
Reading dan revisi naskah SEKARMURKA dilakukan bersama, ketika Ibed sebagai Sutradara masih berhalangan hadir, maka Desi sebagai Penulis menyimaknya. Dinu, Nissa, dan Jamal sebagai aktor melakukan reading yang dipandu narasi dari Utroq Trieha. Proses ini masih sebatas dilakukan dengan smabil duduk dan dialognya pun belum masuk dalam tahap dihapalkan. Tatapan mata semua tim JARINGPROject itu masih fokus pada lembar-lembar naskah.
Latihan hari berikutnya masih berada di Omah Kebon. Jika waktu sebelumnya proses reading itu dilakukan dengan posisi duduk lesehan, maka kali ini reading dengan posisi duduk di kursi. Kenyatannya, perbedaan posisi dalam membaca naskah ini juga snagat memengaruhi emosi. MAN yang diperankan Jamaluddin Latif semakin terlihat kekasaran khas preman-nya. Sementara HIN yang diperankan M Dinu Imansyah, emosinya pun tak kalah besar. Namun ini belum/bukan emosi final. Semua masih harus menunggu arahan dan keputusan sutradara.
-
Reading dan Revisi Naskah SEKARMURKA di Omah Jayeng
Jika sebelumnya kami memanfaatkan kebaikan Mas Whani Darmawan, maka pertengahan bulan November kamipun tak menyia-nyiakan kebaikan Mas Garin Nugroho. Kami berlatih di Omah Jayeng Prawiran, yaitu rumah yang digunakan sebagai latar dalam film NYAI.
Setelah dirasa cukup dalam tahap reading dan revisi naskah SEKARMURKA, maka selanjutnya di Omah Jayeng Prawiran ini mulai dilakukan blocking pemain. Dengan memanfaatkan bentuk ruang pendapa rumah mas Garin yang sangat mendukung, maka baik arah ataupun motif gerak ketiga tokoh -NIS, MAN, dan HIN- mulai dicari.
Latihan berikutnya, setelah mengulang hapalan dan blocking yang telah ditemukan pada latihan sebelumnya, Jamal dan Dinu meminta beberapa perubahan pada naskah karena merasakan ada yang tidak pas.
Jamal mengungkapkan keberatannya akan tokoh MAN yang dirasanya kurang membela diri saat diserang HIN habis-habisan di depan NIS. Sedangkan Dinu meminta bagian yang menggambarkan terjadinya perkelahian antara MAN dan HIN dihapuskan. Alasannya karena adegan yang sekilas itu tidak efektif bila dibawa ke atas panggung. Selanjutnya permintaan ini disepakati oleh Jamal karena menurutnya tanpa adegan berkelahi asalkan babak berikutnya HIN masuk dalam keadaan babak belur, sudah cukup menggambarkan peristiwa yang sebelumnya terjadi.
Desi sebenarnya tidak sepakat dengan permintaan ini. Pasalnya babak demi babak diciptakan dengan maksud dan tujuan agar plot serta alur cerita tersusun/tercipta secara baik. Bila ada dialog atau urutan adegan yang dibolak-balik tentu sangat bisa dimaklumi. Karena, peristiwa yang ‘terjadi’ di atas kertas tentu saja berbeda bila sudah dibawa ke panggung. Namun jika dihilangkan, tentu ada hal-hal yang terasa putus.
Pada kondisi inilah kehadiran sutradara untuk menjembatani keinginan penulis naskah dan aktor sangat dibutuhkan. Terlebih lagi Desi meyakini Ibed yang tak hanya sebatas berkemampuan sebagai sutradara belaka. Melainkan Ibed juga memiliki daya bacabegitu tinggi dalam “karya sastra”. Apa kemauan penulis – yang seringnya tak mampu ditangkap oleh para aktor, bisa ditangkap dan dijelaskan oleh sutradara. Sayangnya, sore itu Ibed berhalangan hadir.
Desi mengambil keputusan untuk mengubah naskah sesuai dengan keinginan dua aktor laki-laki tersebut. Ia ingin melihat reaksi dan respons sutradara di latihan berikutnya. Apakah keinginan MAN dan HIN sudah sesuai dengan kebutuhan panggung, ataukah keputusan Desi dalam menentukan babak-babak cerita yang lebih sesuai dengan pertimbangan sutradara.
Dan pada latihan berikutnya, Ibed Surgana Yuga sebagai sutradara telah mengetahui perubahan itu. Sebagai sutradara, ia pun memutuskan agar babak perkelahian antara Man dan Hin tetap ada. Tidak usah dihapus! Babak
perkelahian itu tetap dipertahankan saja! Adegan dibayangkan akan berjalan sekilas-kilas (yang nanti akan didukung dengan permainan lampu).
Beberapa kali latihan di Jayeng Prawiran, beberapa kali pula penulis musti menghadapi permintaan Jamal juga Dinu sebagai pemain untuk menghilangkan, menambah, dan mengganti naskah pun adegan. Hal itu sempat membuahkan tanya; alih-alih terburu-buru menghapus pun menambah dialog yang “katanya” dirasa tidak pas, kenapa aktor tidak menanyakan maksud tulisannya kepada penulisnya terlebih dahulu? Maka, pada akhirnya diskusi singkat tentang kemauan dan maksud penulis akan bisa dipahami, kemudian dirembug bersama sutradara, dan minimalisir untuk terburu-buru, termasuk dalam menghapus dan menghilangkan.
Ya, barangkali di sinilah letak dinamika proses latihan antara pelaku lintas-disipliner. Ada perbedaan persikapan dan proses tawar-menawar yang kadang sangat alot antara satu dengan yang lainnya. Baik itu dalam proses blocking, reading dan revisi naskah SEKARMURKA ini. [des/uth]