Puno Letters to the Sky adalah satu pertunjukan teater boneka yang dimainkan oleh Papermoon Puppet Theatre. Satu kelompok teater yang digawangi oleh Maria Tri Sulistyani, atau lebih akrab dengan panggilan “Ria Papermoon”.
Pertunjukan teater boneka yang telah dipentas-kelilingkan di beberapa negara ini sungguh menarik untuk dikupas. Dimulai dengan keakraban dan tawa riang yang dibangun secara intens, lalu diakhiri dengan perpisahan. Merupakan satu formula alur cerita yang tepat dan sungguh mempermainkan emosi para penontonnya saat digunakan dalam pertunjukan teater boneka Puno; Letters to the Sky yang dihelat beberapa kali pada awal bulan Juli 2018, dan bertempat di IFI/LIP Yogyakarta.
Ada rumus pun resep rahasia yang biasanya digunakan dalam menulis cerita; buatlah pembaca (atau penonton -bila digunakan dalam pertunjukan teater boneka ini) tertawa, maka kau akan mendapatkan hati mereka, dan buatlah pembacamu menangis untuk meninggalkan ‘jejak’ dalam ingatan mereka.
Sebagaimana puncak harapan dari pelayanan di satu hotel yang biasa menggunakan istilah Ten Quality Point of Services; yaitu agar tamu kembali lagi dan lagi, maka apabila resep di atas itu digunakan dan lantas juga berhasil, bisa dipastikan pembaca dan atau penonton akan kembali lagi dan lagi saat buku atau pertunjukan dari kelompok yang sama terbit atau mengadakan pementasan kembali.
Mungkin Papermoon Puppets menggunakan rumus rahasia ini, mungkin juga tidak. Tapi, yang pasti telah terbukti bahwa tiket pertunjukan mereka ludes hanya dalam beberapa jam –atau hari saja sejak dibuka.
Puno dan Tala dalam Puno Letters to the Sky
Cerita pertunjukan Puno; Letters to the Sky dibuka dengan adegan beberapa sosok menyala dalam gelap melayang-layang di udara. Kemudian masuklah sosok awan besar yang lucu (anyway, sosok awan besar itu justru juga membuka ingatan penulis pada wujud Baymax dalam film Big Hero 6). Awan besar tersebut membawa selembar daun, diserahkan pada sosok kecil yang menyala, dan mendapat ganti daun yang baru. Tergambar di sana sosok Puno – yang akan menjadi pusat cerita dalam pertunjukan malam itu.
Puno dan Tala yang bermain petak umpet. Tala memanggil-manggil “Papa Puno…” lalu bersembunyi. Kemudian Puno ganti memanggil Tala sambil berusaha terus mencari. Hingga kemudian mereka bertemu dan tertawa bersama.
Kisah Puno dan Tala terus bergulir. Mereka makan es krim bersama dan menggoda salah seorang penonton perempuan. Dengan bantuan puppeter yang turut bermain dalam pertunjukan, diketahui bahwa Puno naksir salah seorang penonton perempuan. Usaha PDKT dilakukan. Puno berhasil memberi segenggam bunga pada perempuan tersebut.
Adegan berikutnya mengenai Puno yang memasak dan bekerja. Mulai dari sinilah sosok awan putih besar – yang diberi nama ‘Red Cloud’ melayang-layang di sekitar Puno. Hanya Puno yang bisa melihat wujud sosok awan ini, tidak Tala.
Kedekatan demi kedekatan antara Puno dan Tala terus digambarkan, hingga kemudian Puno mendapat serangan hebat di kepala. Operasi pun dilakukan dan nyawa Puno tak bisa diselamatkan. (Boneka) laki-laki itu meninggal dunia, meninggalkan anak perempuannya seorang diri yang kemudian bersedih.
Tak pergi begitu saja dan meski tak bisa benar-benar menyentuh Tala, Puno masih ‘hadir’ untuk melindungi anak perempuannya. Hingga kemudian ‘Red Cloud’ benar-benar membawa pergi Puno.
Tala yang sedih kemudian mengirimkan surat ke langit dalam wujud perahu kertas. Satu “mainan origami” yang juga pernah diberikan sang ayah (Puno) kepada anaknya (Tala) sesaat setelah sang anak tersebut ketakutan dan bersedih. Tak dinyana, begitu surat mengangkasa, puluhan surat dalam perahu kertas pun menghujani tempat pertunjukan.
Kelebihan dan Kekurangan Puno
-
Interaktif
Adalah menyenangkan ketika penonton yang memiliki dunia realitas sendiri dan berjarak dengan dunia boneka Puno dan Tala, akhirnya jarak dan batas tersebut dilanggar saat kedua boneka ini melakukan adegan interaktif, yaitu saat Puno menggendong Tala lalu menclok, bertengger, di atas kepala penonton. Aksi tak terduga yang justru mampu memancing geli.
Ditambah lagi saat Puno naksir salah seorang penonton perempuan. Dibantu dengan puppeter yang gokil, Rangga, aksi PDKT Puno mampu menjadi penyegar cerita sebelum kemudian Puno dan Tala kembali dalam dunia mereka.
Hal ‘segar’ yang muncul dalam pertunjukan ini adalah keterlibatan puppeter dalam pertunjukan. Hanya sayang, agak nanggung. Pertannyaannya, kenapa kehadiran mereka tidak dilibatkan secara maksimal seperti saat Rangga berjualan es krim dan membantu PDKT Puno? Padahal jika ini maksimal,puppeter juga bisa menjadi sama maksimalnya pada adegan operasi Puno ketika sakit, dan kemudian meninggal?
-
Teknis
Satu hal yang mengagumkan dari pertunjukan Puno Letters to the Sky adalah permainan teknis yang digunakan. Pertama ada adegan Tala mengintip video atau slide foto melalui recorder. Bayangan siluet muncul dari bulatan-bulatan hitam yang disinari dari bagian belakang. Gambar hitam bergerak-gerak memunculkan visual anak-anak, Tala dan Puno yang bergandengan, dan perahu yang bergerak menjauh.
Hal ini juga digunakan saat Puno dioperasi di rumah sakit. Sebuah layar bergambar anatomi tubuh Puno disinari dari belakang dengan penambahan gambar yang mengimajinasikan (seolah) kanker yang telah menyebar ke seluruh tubuh. Hal ini pulalah yang kemudian menyebabkan nyawa Puno tak tertolong.
Red ‘Baymax’ Cloud Puno; Letters to the Sky
Dijelaskan bahwa awan putih yang bulat dan menggelembung lucu itu bernama Red Cloud, tugasnya adalah ‘menguntit’ seseorang yang hendak meninggal dunia. Seumpama penonton telah membaca buku tentang Puno dan atau mendengarkan penjelasan langsung dari Ria Papermoon, maka besar kemungkinan akan menjadi terang benderang perihal apa dan bagaimana Red Cloud tersebut, yakni awan merah yang dilihat sahabat Ria menjelang ajal.
Akan tetapi, seumpama penonton datang terburu-buru, atau mendapat tiket operan, dan tak sempat mendengar penjelasan atau membaca buku Puno, sepertinya karakter dengan nama Red Cloud agak terasa janggal. Karena ketika di-googling sekalipun frasa Red Cloud ini tak ada keterangan yang memuaskan mengenai sosok malaikat-pendamping-seseorang-yang-hendak-meninggal ini. Untung saja, penggambaran ‘tugas’ malaikat ini sudah terjelaskan bila penonton memerhatikan cermat sejak awal. Awan putih gembul ini menyerahkan daun berisi gambar seseorang untuk mendapatkan lembar daun yang baru dan kemudian membuatnya mengikuti Puno – dan tak terlihat oleh Tala.
Namun terlepas terlihat dan tak terlihat, di adegan ini ada satu hal yang menjadi ganjalan. Bisa diibaratkan bahwa sekalipun sudah banyak yang familiar dan mengerti perihal tugas tokoh berjuluk Red Cloud, namun bagaimanapun keadaannya akan menjadi tergambarkan apabila ada adegan rasa terkejut pada seseorang yang didatangi awan yang mirip Baymax tersebut. Logikanya, apabila belum kenal atau tak mengerti tugas Red Cloud, keterkejutan itu hadir karena melihat sosok ‘gaib’. Pun, bila sudah mengenal, keterkejutan itu hadir karena melihat pertanda ya-ampun-sebentar-lagi-aku-akan-mati-nih.
Pada pementasan Puno Letters to the Sky itu, Puno tak menunjukkan reaksi semacam terkejut kecuali hanya berlama-lama memandanginya.
-
Levelitas
Ketidak-konsistenan levelitas juga menjadi penyebab munculnya ambiguitas. Bahwa dengan tokoh berwujud boneka dan seting yang terpisah, tak bisa selamanya puppeter menjalankan boneka selalu menapak dengan ‘tanah’. Karenanya untuk berpindah dari satu setting ke setting lainnya boneka akan berjalan mengambang.Ini sangat bisa dipahami. Tak menjadi masalah. Hanya saja yang kemudian menjadi ganjil adalah di dalam pertunjuan kali ini ada dua dunia yang berbeda, yaitu dunia ‘demit’ ataupun dunia ‘roh halus’ sebagai dunianya Red ‘Baymax’ Cloud dan juga dunia realis Puno serta Tala.
Sejak awal Puno pun Tala digambarkan berjalan di atas setting lokasi dan mengawang-mengambang di awan. Namun sayangnya ada ketidak-konsistenan levelitas di sini. Terkadang Puno maupun Tala berjalan mengawang terlalu tinggi seperti sedang terbang. Hal ini yang kemudian membuat bias atau ambigu dunia ‘demit’ dengan dunia realis Puno Tala tadi.
Levelitas tak konsisten itu juga membuat adegan roh Puno melayang setelah meninggal dunia menjadi kurang kuat. Seandainya sedari awal levelitas Puno Tala dibikin sejajar – rata ketinggiannya (baik berjalan menapak pun mengawang) semestinya adegan roh Puno melayang menjadi begitu kuat. Adegan Puno tak bisa menggapai dan mengelus Tala memunculkan batas dua dunia yang berbeda dengan tajam.
Catatan:
Adegan melayang Puno saat sakit kepala tak masalah, kok. Karena hal itu masih sah jika dijadikan gambarkan rasa sakit yang teramat sangat.
-
Sengkleh
Sebenarnya dua hal ini bisa diabaikan, karena mungkin tak semua penonton mempermasalahkannya. Hanya saja, penting dituliskan karena barangkali bisa dijadikan sebagai saran membangun ke depannya. Bagian kanan (menghadap penonton) gagang kacamata Puno sempat terlihat di luar daun telinga, bukan di antara kepala dan cuping sebagaimana orang memakai kacamata pada umumnya. Juga tangan kanan boneka yang sengkleh dan sepertinya lupa digarap.
Ya, kesulitan menggerakkan boneka sangat bisa dipahami. Tangan puppeter terbatas, hanya dua, satu untuk memegang dan menggerakkan kepala, satunya lagi guna menggerakkan tangan kiri. Namun, akan menjadi layak dalam adegan duduk menggambar atau adegan still yang lama, tangan kanan boneka diletakkan terlebih dulu di meja atau di atas lutut, barulah kemudian menggerakkan tangan kiri boneka. Karena, melihat tangan kanan boneka yang sengkleh/terkatung-katung untuk waktu lama, kok ya mesakke, kasihan, karunya pisan Teh. 🙂
-
Ketakutan dan Menyusut Ingus?
Setiap penonton memiliki latar belakang kehilangan yang beraneka ragam. Masing-masing pun memiliki tradisi penyikapan atas kesedihan yang berbeda. Cerita yang baik, mampu mengajak macam-macam penonton bereaksi serupa.
Sejak awal pementasan Puno Letters to the Sky digadang-gadang mampu membuat sembab mata para penontonnya, mampu ‘memaksa’ penonton berurai air mata dan menyusut ingus. Setidaknya ini yang terlihat pada video yang bersliweran di dunia maya sebagai bagian dari publikasi pertunjukan. Namun, pertunjukan pada hari Minggu lalu ternyata tak lebih menyedihkan ketimbang saat membaca buku Puno; Letters to the Sky.
Ada beberapa bagian yang bersifat semedhot atau membikin tenggorokan tersumbat awal mula tangis ada. Misalnya, pada bagian Puno yang tak lagi bisa menyentuh Tala karena roh yang melayang saat ajal tiba. Juga pada bagian Puno yang serta-merta meneduhi Tala ketika terguyur air hujan dan melindungi Tala saat hendak terjatuh.
Perpisahan memang berat. Namun, mengetahui bahwa seseorang yang telah meninggalkan kita tetap ada di sekitar dan berupaya untuk selalu melindungi adalah hal yang mampu menguras air mata. Sayangnya, keharuan itu hanya berhenti sampai di sana. Adegan berikutnya hingga akhir (terutama musik dan pengisi suaranya) terasa sebatas mendayu-dayukan suasana cerita. Seperti ingin bicara, “Ayo ta nangis, ayo ndang nangis, ayo gek ndang nangis wae.” Padahal bila cerita digarap dengan lebih relaks (tanpa melupakan tangga dramatik yang semakin naik dan ending yang membekas), sepertinya pertunjukan ini bisa memiliki bagian akhir yang mampu membikin semua penonton menyusut ingus dan mengusap air mata.
Keharuan yang seperti tiba-tiba menghilang setelah kepergian Puno, sepertinya hadir karena kurang ditunjukkannya emosi kesedihan Tala, kecuali hanya diam dan meletakkan kepala di meja kerja ayahnya. Rasa syok, marah, kehilangan, sedih terutama yang dirasakan anak kecil bila dimunculkan tentu akan mampu menarik simpati lebih dari para penonton. Hingga kemudian ketika Tala melayangkan surat ke langit, lalu surat-surat pun jatuh membanjiri ruangan, penonton bisa lebih merasakan kehilangan yang sama atau malah kesedihan yang teramat sangat. Keharuan yang dibangun perlahan dan semakin intens di bagian belakang tentu akan menguras rasa sedih penonton dengan lebih.
Nb:
Setelah musik mengiringi di hampir sepanjang pertunjukan, bagaimana bila tiba-tiba suasana menjadi hening sesaat setelah Puno meninggal dunia? Suara hanya muncul saat turun hujan atau isak tangis Tala. Musik barulah muncul kembali setelah Tala melangitkan surat, dan surat-surat perahu turun ke dalam ruangan. Bisa jadi itu menimbulkan efek yang lebih sedih, ketimbang melulu ‘menghajar’ kesedihan dengan menyertakan musik tanpa henti.
After All
Pada akhirnya, terlepas dari ulasan yang ada, pertunjukan Puno; Letters to the Sky ini secara garis besar bagus, ceria, menghangatkan hati, sekaligus mengharukan. Sebuah pertunjukan teater boneka yang mampu menyampaikan cerita dengan baik. [des/uth]