Sinopsis Menjaring Malaikat | Teater Tunggal Menjaring Malaikat

Teater Tunggal Menjaring Malaikat itu Serba Pas

Teater Tunggal Menjaring Malaikat | Di tangan dua kelompok tamu Festival Teater Jakarta, cerita-cerita pendek yang ditulis sastrawan dan perupa Danarto ada pada 1970-an dan 1980-an terasakan seperti baru ditulis kemarin sore.

Dalam kegelapan, kain latar panggung yang hitam terangkat, menyuguhkan sebuah lorong panjang yang ada di baliknya. Dentuman teratur memekak telinga, dengan irama yang lebih lambat daripada denyutan jantung, mencekamkan cahaya putih yang menyorot kuat dari ujung lorong. Lorong cahaya itu menyilaukan, membuat samar sesosok ganjil yang meluncur perlahan.

Ya, meluncur, sosok itu tak berjalan. Bentuk seperti sepasang sayap di punggungnya pun tak mengepak. Tubuhnya seperti mengambang, meluncur anggun melintasi lorong cahaya, perlahan rupanya kian mewujud jelas. Jas hitamnya sedikit kedombrongan, bercelana kain layaknya kaum berdasi, tetapi memakai sepasang sepatu bot plastik murahan.

Luncurannya sosok ganjil itu berhenti di bibir belakang panggung yang kini gelap gulita lantaran lorong cahaya itu menghilang. Sesorot cahaya putih dari sayap panggung menerpa seadanya. Samar, sosok ganjil itu mengangkat tangan, mengujar teks dari cerita pendek ”Mereka Toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat” karya Danarto dengan penuh wibawa.

”Akulah Jibril. Malaikat yang suka membagi-bagikan wahyu yang dipercayakan Tuhan kepadaku. Jika angin berhembus, itulah aku. Aku di padang pasir, aku di gunung-gunung, aku di laut, aku di udara. Aku suka berjalan-jalan di antara pepohonan, melentur-lentur melayang di antara batang pohon pisang dan mangga. Kedatanganku senantiasa ditandai hembusan angin di antara pepohonan atau padang pasir…,” sang Jibril bersabda.

Pelan, keremangan panggung sirna, bertajuk ”Menjaring Malaikat” oleh Jaring Project dalam salah satu bagian dari pementasan Festival Teater Jakarta di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Kewibawaan Jibril pun menguap. Ia meluncur pelan dengan tubuhnya tak lagi menegap gagah. Aktor Jamaluddin Latif memang piawai memainkan mini scooter elektroniknya, yang membawa tubuhnya meluncur berkeliling panggung. Si Jibril yang kini bengal bergoyang-goyang ke kiri-kanan. Dengan tubuh terbungkuk, tetapi pongah, dan tampang yang jahil, mengujar kalimat-kalimatnya sendiri.

”Tapi, tugasku menyampaikan wahyu telah selesai. Nabi terakhir telah ditetapkan. Jadi, akulah Jibril, malaikat pengangguran,” kata Jibril terkekeh-kekeh.

”…Supaya aku masih tampak punya harga diri, dan tidak dituduh memakan gaji buta, aku pura-pura tetap sibuk bekerja. Salah satunya adalah mengusili para manusia. Aku pernah membisiki orang-orang tertentu, meminta orang-orang itu mengaku menjadi nabi baru. Keisenganku menimbulkan gejolak panas. Banyak orang yang tidak terima dan marah-marah,” Jibril tertawa-tawa, tubuhnya meluncur ke kiri-kanan, tanpa berjalan.

Naratif

sayap-malaikat-terjerat-kukuh-menjaring-malaikat-jaringproject-ftj-tim-jakarta
Pic taken by @gilardjalu

Begitulah Jamaluddin, mengalirlah alur dari cerita pendek yang ditulis Danarto pada 1975 itu. Cerita pendek itu telah disadur menjadi naskah monolog oleh Desi Puspitasari, yang juga seorang novelis dan cerpenis. Kata-kata bengal, seperti bagaimana Jibril merasa menjadi malaikat pengangguran menjadi jembatan untuk memanggungkan teks asli Danarto yang bercerita tentang bagaimana Jibril mengisengi sebuah sekolah berikut tukang kebunnya.

Jaring Project, kelompok penggarap monolog berjudul ”Menjaring Malaikat” itu, menjadi salah satu kelompok tamu yang diundang memeriahkan Festival Teater Jakarta yang berlangsung pada 21 November – 9 Desember ini. Kelompok kolaborasi asal Yogyakarta itu, antara lain, diawaki Jamaluddin Latif, sutradara teater Ibed Surgana Yuga, Desi Puspitasari, musisi Ishari ”Ari Wulu” Sahida, musisi/perupa Roby Setiawan, dan penata cahaya Sugeng Utomo.

Kolaborasi para seniman yang terbiasa memakai beragam medium seni untuk mengungkap gagasan itu memang melahirkan tampang panggung yang sedap dipandang mata. Adegan Jibril tertawa-tawa, senang melihat tukang kebun yang mengira benar-benar bisa menangkap malaikat, dilakukan Jamaluddin dengan meluncur berayun-ayun di balik ”payung” jaring jingga menyala itu, dalam penataan cahaya yang apik, membuat panggung seperti lukisan berkomposisi sempurna. ”Menjaring Malaikat” serba pas, serba terkendali.

Apa yang tersaji di panggung sungguh berbeda dengan apa yang dituturkan Ibed dalam diskusi biografi karya pada Selasa (29/11). Ibed bercerita banyaknya benturan yang lahir karena kepentingan estetika berbeda di antara para kolaborator berbeda medium seni itu.

Di panggung, monolog naratif Jamaluddin dominan. Ia memang piawai beralih peran dari Jibril menjadi tukang kebun, dari tukang kebun menjadi guru, bahkan mendendangkan nyanyian gembira anak-anak sekolah melihat Jibril terjerat jaring. Membiarkan pelakon sekelas Jamaluddin mendominasi sebuah kolaborasi pementasan teater memang membuat ”Menjaring Malaikat” memukau, tetapi itu seperti cara ”main aman” menata seluruh benturan kepentingan estetika antara ”kolaborator teater” dan para ”kolaborator nonteater”.

Rujukan:
[1] Disalin dari sebagian tulisan-liputan Aryo Wisanggeni untuk Koran Kompas
[2] Pernah tersiar di kolom Teater, surat kabar “Kompas” edisi Sabtu, 3 Desember 2016

Liputan lain (mengenai photo) bisa dilihat di link Koran Tempo ini